DAFTAR ISI

PANGAPORA

PANDHAPA

Pendidikan Melawan Korupsi : A. Dardiri Zubairi

PAMATOR

Surat Dari Pembaca

ARTIKEL TAMU

Hidup Sederhana = Pendidikan Anti Korupsi : Darmaningtyas

ARTIKEL UTAMA

1- Merancang Pendidikan Anti Korupsi: Telikungan Kapitalisme Global Dalam Pendidikan: Muhammad Saidi

2- Membumikan Tri Dharma Perguruan Tinggi Anti Korupsi: Lukman Hakim

3- Korupsi Di Sekolah Petaka Kemanusiaan : Musaheri

WAWANCARA

H. Moh. Rais, S.Pd. M.Si : Guru Biarkan Siswa Nyontek Termasuk Korupsi

ARTIKEL LEPAS

1- Menggairahkan Kembali Pendidikann Anti Korupsi: Memulai dari Pendidikan Pesantren : Zaiturrahim RB

2- Pengembangan Pendidikan Tinggi Di Daerah: Ida Ekawati

3- Mencari Wajah Pendidikan Islam: Moh. Husen Rowy

KOLOM

1- Korupsi, Pendidikan Dan Hati Nurani : Rusliy KM

2- Pendidikan Anti Korupsi : Hidayat Raharja

3- Pendidikan kita Sakit Apa? Waqi’ Saningrum

RESENSI

Menjadi Guru yang Benar-Benar Guru: rusmanhadi

 

 

PANGAPORA

SALAM REDAKSI EDUKASI

Pendidikan lahir bersama manusia. Hanya saja, secara bertahap, manusia terus-menerus mencari, dan mengembangkan hingga akhirnya menemukan ramuan terbaik guna menciptakan generasi anak didik yang pintar, cerdas, berilmu nafi’, dan niat-niat baik lainnya.

Dengan perlengkapan akal untuk berpikir dan hati untuk merasakan, manusia telah menetapkan keputusan bersama, bahwa mahia pendidikan adalah untuk tegak-julang kemaslahatan dan bentang-hampar perbaikan mutu hidup manusia itu sendiri: berilmu manfaat, beramal untuk akhirat. Pendidikan dihala pada pamuncak kedewasaan dan kecerdasan manusia sejati; manusia yang terdidik dan tahu diri, pada nilai hulul sebagaimana diwasiatkan leluhur.

Semua orang tahu arti penting pendidikan, tetapi tidak banyak yang menyadari, atau berusaha mengerti, bahwa pendidikan tidak habis pada batas “mencerdaskan”, melainkan juga mendidik agar bisa merendahakan hati, bersikap ikhlas, dan berbudi pekerti mulia. Tujuan pendidikan adalah menciptakan manusia yang sempurna sebagai khalifatullah di muka bumi. Karena itulah, pendidikan harus dapat mengantarkan manusia ke jenjang peringkat tertinggi kemanusiaannya; insan yang kamil, mahaparana lahir-batin.

Pendidikan mutakhir melihat, setelah coba demi uji coba dan sampai pada capain-capain luar biasa di dalam semua aspek kehidupan—termasuk pendidikan—bahwa pendidikan harus dilaksanakan secara tertata, juga terlembagakan, seperti bentuk sekolah/madrasah yang kita lihat dewasa ini. Upaya semacam ini dapat memudahkan berlangsungnya salin alih nilai-nilai budi pekerti, melintasi masa demi masa, generasi demi generasi.

Bentuk “pelembagaan” pendidikan semacam ini terkadang berdampak pada hilangnya tangung jawab sebelah pihak. Misalnya, pada saat orang tua mempercayakan pendidikan anaknya pada sebuah lembaga, terjadilah lepas tangan: anak sepenuhnya “dititipkan”, dan mereka cukup bertanggung jawab urusan biaya saja. Anggapan semacam ini terus berkembang dan menyimpang sehingga salin alih nilai di lembaga pendidikan—dengan waktu pembelajaran yang sangat terbatas—pada anak didik semakin tidak berimbang dengan imbas pergaulan lepas perhatian di luar sekolah/madrasah.

Nah, kini, tibalah pada satu mahia persoalan: jika kita telah menerapkan berbagai strategi, kebijakan, dan politik pendidikan yang selama ini dianggap maju menuju pemuncak keluhuran cita-cita agung pandidikan, mengapa hingga saat ini banyak anak didik yang melakukan perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur pendidikan itu sendiri, seperti kekerasan, pornografi, dan terutama tindak korupsi?

Seharusnya, pendidikan dapat membuat masyarakat sadar, bahwa korupsi adalah racun yang membunuh dari dalam secara pelan tetapi pasti. Namun, yang terjadi di depan mata tidaklah demikian. Lalu, sebenarnya apakah yang menyebabkan semua ini terjadi? Apakah penyebabnya? Apakah kita telah menerapkan strategi, kebijakan, dan politik pendidikan yang salah? Ataukah karena alasan seperti disebut berikutnya; yaitu kegagalan peserta didik untuk menerapkan nilai-nilai luhur yang ia terima di lembaga pendidikan karena tidak berimbang dengan imbas buruk pergaulan lepas perhatian di luar sekolah/madrasah?

Saat ini, tanpa perlu menelisik, praktek korupsi terjadi di mana-mana, bahkan secara terang dan jelas di depan mata; dari pungli hingga sogokan, dari ribuan hingga jutaan. Bahkan, secara menyedihkan, korupsi justru terjadi di lembaga dan instansi yang terkait langsung dengan dunia pendidikan, seperti di sekolah/madrasah. Di atas itu semua, praktek korupsi pun terkadang dianggap sesuatu yang biasa sehingga kita bisa melakukannya tanpa malu, di mana saja.

Demikian mapan praktek-praktek korupsi di negeri ini telah membuat orang minder dan takut jika harus turun tangan untuk memberantasnya. Ia telah menjadi sejenis “zat adiktif” yang sukar untuk ditinggalkan. Dengan kias seperti itu, cara yang paling memungkinkan adalah dengan kembali ke sumber, yakni dengan mencari cara jalan pilihan: pendidikan harus benar-benar mampu mendidik manusia agar “sadar”—bukan “takut”; sebab koruptor biasanya kebal dan tidak kecut—bahwa tindakan korupsi adalah tindakan yang bukan saja merugikan manusia, melainkan sekaligus juga menghancurkan mental dan segala nilai khalifatullah-nya.

Nah, Edukasi edisi kali ini akan menyuguhkan tulisan-tulisan di bawah satu rancangan, bagaimana menggagas pendidikan yang dapat mengendalikan terjadinya praktek-praktek korupsi agar tidak semakin akut, meskipun tentu tidak dapat secara serta-merta. Sebab, mungkin hanya pendidikan lah jalan yang paling memungkinkan untuk ditempuh dalam rangka memberikan penyadaran terhadap masyarakat, bahwa penyakit ini telah merambah ke seluruh urat nadi kehidupan bangsa, tidak terkecuali di ranah pendidikan itu sendiri, suatu ranah yang seharusnya menjadi titik awal perbaikan budi pekerti.

Selamat membaca!

 

 

 Back To Daftar Isi

PANDHAPA

Pendidikan Melawan Korupsi

Oleh A. Dardiri Zubairi

Tahun 50-an Mohammad Hatta, wakil presiden yang dikenal sangat jujur dan sederhana, pernah memaklumatkan bahwa korupsi ketika itu sudah ”membudaya”. Sekarang, bisa kita bayangkan, seperti apa ”binatang” korupsi ini. Ketika bangsa ini sedang sekarat pun, dihantam bertubi-tubi bencana alam, krisis ekonomi, dan bencana sosial-budaya, korupsi toh tetap (di)nomer-satu(kan).”Perkembangan” korupsi, setelah setengah abad lebih bangsa ini merdeka, grafiknya terus menaik. Melampaui konsep nation state sendiri yang hingga saat ini belum tuntas. Hebat!

Begitu membudayanya, saat ini sulit membedakan pelaku korupsi dengan orang jujur. Pelaku korupsi tak perlu kehilangan kehormatan. Cukup bermanis-manis sambil sesekali harta jarahannya didermakan untuk amal sosial, pelaku korupsi tetap akan terhormat. Cuma kita bisa menepuk dada, begitu rapuhnya kontrol sosial. Sanksi sosial pun kehilangan jimatnya hingga pelaku korupsi tetap nyaman membangun relasi sosial dengan penuh percaya diri. Untuk percaya diri, ternyata tak perlu pakai roll on, bukan?

Karena dianggap (ber)budaya, pelaku korupsi saat ini juga tidak perlu merasa malu. Tak perlu merasa kesepian. Jika dulu banyak pelaku korupsi hanya di seputar pejabat eksekutif dan yudikatif, sekarang merambah ke wilayah legislatif. Dalam persepsi publik, menurut survey yang dilakukan Tranparency International, lembaga legislatif ditempatkan sebagai lembaga terkorup (Jawa Pos/10/12/06). Ah, ngapain malu.

Tidak sekedar itu, korupsi terus bekerja laksana virus. Melintas batas tanpa kenal geografis (lihat otonomi daerah yang hakikatnya juga ”otonomi korupsi”), lintas agama (pemeluk agama apa pun doyan), lintas gender (laki-laki perempuan sama saja), lintas kelas ( orang borju atau proletar suka), dan lintas idelogis (kapitalis atau sosialis menikmati). Secara telanjang atau yang seperti (maaf) bau kentut (dirasakan tapi tak terlihat), korupsi bisa kita saksikan di mana-mana. Di ranah state atau civil society. Dus, saat ini sejengkal wilayah sepertinya tak ada yang bebas dari korupsi. Sangat kultural dan struktural sekaligus.

Pendidikan, Bisa Apa?

Di saat bangsa tergadai ke tangan para koruptor dan seluruh sistem serta mekanisme hilang kesaktiannya, tiba-tiba saja pendidikan bak ”malaikat penolong”. Muncul gagasan adiluhung, Pendidikan Anti Korupsi. Pendidikan diminta untuk memikirkan dan menyelesaikan persoalan korupsi yang sudah demikian kronis di negeri yang –konon—relegius ini.

Sejatinya tanpa diminta, pendidikan –yang bekerja di wilayah kultur—memiliki kewajiban untuk membangun budaya melawan korupsi. Pendidikan harus merefleksikan secara kritis kondisi sosial-budaya masyarakat serta membongkar ideologi dominan yang tidak tampak di belakangnya. Posisi ini meniscayakan bahwa pendidikan sejatinya memiliki keberpihakan yang jelas, kepada masyarakat yang ter(di)aniaya (mustadhafin).

Bukan seperti sekarang, asyik bercengkrama dengan ide atau gagasan yang sama sekali lepas dengan konteks sosial-budaya yang melatarinya. Atau menjadi pabrik yang mengabdi bagi kepentingan para pemilik modal, hingga pendidikan kehilangan jati dirinya. Sampai di sini, sebaiknya kita bertanya, (ideologi) pendidikan seperti apa yang kita andaikan bisa melawan korupsi? Bisakah dibayangkan, moralitas anti korupsi ditegakkan di saat kapitalisasi pendidikan disanjung di mana-mana? Jangan-jangan nanti malah –seperti bunyi iklan—”jeruk kok minum jeruk?”.

Ada lagi pertanyaan sederhana yang menggelisahkan, sudahkah seluruh pemangku kepentingan pendidikan, sejak dinas pendidikan, departemen agama, sekolah, dan seterusnya sejak sekarang berani mengatakan ”TIDAK” terhadap korupsi? Moralitas anti korupsi yang akan dimasukkan rohnya dalam kurikulum, materi ajar, metodologi, dsb. tidak akan berbunyi apa-apa jika tidak ada katauladanan. Tak perlu bohong, kita semua tahu kok!

Walhasil , pendidikan melawan korupsi perlu diseriusi hingga blue print-nya jelas. Kalau pun saat ini seluruh pemangku kepentingan pendidikan –terutama yang disebut di atas—belum mampu memberikan ketauladanan, siapa tahu nanti berlaku pameo ”senjata makan tuan?” wallahu a’lam.

______________________

 

  Back To Daftar Isi

PAMATOR

Seandainya Pendidikan Sumenep Benar-Benar Gratis?

 

Pendidikan gratis di Sumenep mungkin telah menjadi impian seluruh masyarakat. Bahkan rencana luhur tersebut, sejak beberapa bulan terakhir ini sempat menjadi isu hangat di tingkat elit Sumenep. Keinginan besar sebagian masyarakat untuk menggratiskan pendidikan di Sumenep merupakan keinginan luhur yang seharusnya diterjemahkan oleh para pemegang kebijakan di tanah Wiraraja ini, sehingga di masa-masa yang akan datang pendidikan akan benar-benar menjadi milik seluruh masyarakat Sumenep. Betapa indahnya Sumenep kalau impian ini segera terwujud?

Dan, yang terpenting dalam mewujudkan rencana ini adalah adanya komitmen dan kemauan yang sangat kuat dari para pengelola kebijakan, sehingga niatan untuk menggratiskan pendidikan di kabupaten Sumenep suatu saat dapat menjadi kenyataan. Semuanya harus dikembalikan pada komitmen pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif serta didorong oleh seluruh elemen masyarakat Sumenep, karena tanpa adanya dorongan dan dukungan masyarakat, rencana besar ini tidak akan tercapai.

 

Kholis Akmal

Ketua IPNU Cabang Sumenep

 

EDUKASI

Jangan La Yamutu wa La Yahya?

Hampir setiap edisi saya selalu membaca jurnal pendidikan EDUKASI. Gagasan yang dituangkan di dalamnya menjadi tambahan pengalaman yang sangat berarti bagi saya dalam memahami masalah-masalah pendidikan seperti yang ditulis oleh para penulis. Tapi, yang membuat saya agak sedikit kecewa, hampir setahun (2006), EDUKASI tidak lagi saya dapatkan. Kemanakah EDUKASI? Mengapa bisa terlambat terbit?

Pertanyaan-pertanyaan itu, yang selalu memenuhi pikiran saya sebagai pembaca EDUKASI. Karena menurut saya, sebagai jurnal yang kadung membumi di Sumenep tidak selayaknya jurnal ilmiah kebanggaan masayarakat Sumenep ini, telat terbit dan la yamutu wa layahya.

Ayo, tampakkan keseriusan dan teguhkan keistiqohaman sebagai jurnal yang profesional dan layak dibanggakan. Jangan menjadi jurnal yang temporatif dan tidak jelas kapan terbitnya. EDUKASI harus dapat menjadi wadah gagasan besar tentang pendidikan, terutama pendidikan dalam skala lokal, sehingga akan menjadi salah satu pemicu berkembangnya pendidikan terutama di bumi Sumekar ini. Setahu saya, EDUKASI telah terbit sebanyak lima edisi sejak tahun 2004 kemarin. Lima kali terbit secara tidak langsung merupakan wujud peneguhan eksistensi bagi EDUKASI untuk tetap eksis menjadi sarana kreatif dan produktif masyarakat Sumenep menuju masyarakat yang memiliki tradisi keilmiahan yang selalu dibanggakan.

Arifin Syujama’

Mahasiswa Universitas Wiraraja Sumenep

 

PAK, Jangan Sekedar Wacana !

Tema Pendidikan Anti Korupsi (PAK) yang diambil oleh EDUKASI pada edisi ke-6 kemarin sangat menarik dan luar biasa. Betapa tidak ? Persoalan korupsi yang tengah mendera kehidupan kita dalam berbagai aspek, lebih-lebih dalam aspek kehidupan dunia pendidikan. Mungkin sudah bukan rahasia umum lagi, ketika perilaku korup cenderung terjadi di lembaga pendidikan. Berbagai penyelewengan yang dilakukan terhadap bantuan yang diberikan pada lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga lain kadangkala tidak sesuai dengan maksud awal bantuan tersebut diberikan, karena bisa jadi keburu DIKORUP.

Perilaku korup “oknum” tertentu telah semakin membenarkan bahwa hampir tidak ada lagi sisi kehidupan yang tidak dikorup. Nyaris, semuanya telah rata : mengidap penyakit korupsi yang keterlaluan. Tidak heran, kalau predikat “nalar korup” telah menjadi bagian dari mental kita yang sangat terkutuk. Maka, Pendidikan Anti Korupsi, sejatinya harus diberikan sejak awal pada generasi-generasi muda kita, karena salah satu cara adalah memutus mata rantai tradisi korup ini dengan cara menyiapkan generasi-generasi baru yang benar-benar dibesarkan melalui Pendidikan Anti Korupsi yang mapan dan mendalam.

Pendidikan Anti Korupsi harus ditanamkan sejak dini pada anak didik kita, karena pada saat itu jiwa anak-anak notabene masih suci dan bebas dari polusi korupsi. PAK, jangan sampai hanya sekedar wacana yang tidak pernah teramalkan, karena hal itu merupakan bentuk pengingkaran pada komitmen kita bersama sebagai manusia yang pada hakikatnya bernurani. Para pengelola pendidikan harus menyadari bahwa perilaku korupsi yang telah menggurita juga menjadi tanggung jawab utuh mereka. Pendidikan harus bisa dijadikan sebagai jembatan suci untuk melahirkan generasi-generasi baru yang siap dan memiliki komitmen untuk melawan kebejatan korupsi di masa-masa yang akan datang.

Syahrul Layali RB

Warga Desa Kaduara Timur Sumenep

 

 

 Back To Daftar Isi

ARTIKEL TAMU

HIDUP SEDERHANA = PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

Oleh : Darmaningtyas

Apa beda korupsi dengan judi?

Ini merupakan pertanyaan intermeso, tapi jawabannya dapat dianggap serius. Korupsi sudah pasti dapat uang tanpa harus keluar modal, sedangkan judi harus keluar modal (besar) tapi belum tentu mendapatkan uang, bisa sebaliknya, malah kehilangan uang, terutama bila kalah. Penjudi yang kalah pasti akan kehilangan modal dan sekaligus dapat mengantarkan mereka hidup miskin. Tapi korupsi dapat menyebabkan orang menjadi kaya dalam sesaat.

Meskipun korupsi dapat membuat orang kaya dalam sesaat, tapi baik korupsi maupun judi keduanya merupakan tindakan yang merugikan orang lain. Korupsi berarti mengambil jatah orang lain, sedangkan judi, baik kalah maupun menang cenderung lupa daratan. Bila kalah akan menjual semua harta, termasuk harta warisan untuk anak cucunya. Sebaliknya bila menang berarti mengeksploitasi orang lain untuk keuntungan pribadinya. Cuma untungnya korupsi adalah tidak dikategorikan ke dalam kategori PEKAT (penyakit masyarakat) sehingga pejabat yang korup tidak pernah takut terkena rasia dari kelompok-kelompok yang anti Pekat atau FPI (Fron Pembela Islam. Yang sering dikategorikan ke dalam Pekat dan harus dirasia hanyalah pekerja seks, minuman keras, dan judi. Inilah untungnya menjadi koruptor di Indonesia: sudah pasti kaya dan tidak perlu takut dirasia oleh warga yang lain. Warga yang lain tidak pernah merasa resah bila ada seorang pejabat atau anggota DPR yang memiliki rumah dan mobil mewah melampaui takaran gajinya sebagai pejabat public. Tapi cepat tersentak bila melihat warung remang-remang tempat mangkalnya pekerja seks komersial (PSK) atau main kartu.

Cara pandang masyarakat terhadap penyakit masyarakat yang tidak tegas atau ambilaven itulah disadari atau tidak turut andil besar dalam menyuburkan tindak korupsi. Karena masyarakat sangat toleran terhadap tindak korupsi sehingga tidak pernah menganggap sebagai penyakit masyarakat, maka para koruptor pun merasa tenang-tenang saja melakukan korupsi di negeri ini. Bahkan, ini ironisnya, sikap masyarakat menjadi lebih toleran lagi ketika sang koruptor itu menjadi dermawan yang murah hati; setiap kali dimintai bantuan untuk membangun tempat ibadah memberikan dan dalam jumlah besar lagi. Masyarakat akan memberikan pujian setinggi langit kepada sang koruptor itu. Masyarakat tidak pernah bersikap kritis terhadap setiap pemberian yang dilakukan oleh seseorang. Yang selalu dilihat hanya soal besaran sumbangan yang diberikan. Bila orang itu memberikan sumbangan besar maka akan disebut sebagai dermawan, sedangkan kalau memberikan sumbangan kecil akan dinilai pelit. Masyarakat tidak pernah bertanya darimana asal usul sumbangan yang diberikan. Masyarakat tidak pernah bersikap kritis bahwa kedermawanan sang koruptor itu adalah sebagai upaya menghilangkan jejak korupsi mereka atau kamuflase saja.

Konsekuensi dari pandangan masyarakat yang ambivalen melihat masalah korupsi itu adalah sampai sekarang korupsi masih dianggap sebagai persoalan hukum semata, tidak pernah dianggap sebagai bentuk kejahatan yang merugikan masyarakat luas sehingga harus diperangi secara serius. Hal itu tampak jelas dari opini yang muncul di media massa, baik cetak maupun elektornik yang menyatakan bahwa pemberantasan korupsi tergantung pada proses penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah. Padahal, semua tahu bahwa hukum di negeri ini tidak pernah dapat ditegakkan, karena sangat dikooptasi oleh penguasa, sehingga dengan sendirinya korupsi tidak akan mampu diberantas. Akhirnya gerakan pemberantasan korupsi sampai sekarang hanya menjadi wacana saja. Ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tapi tidak ada gerakan yang signifikan untuk menghukum pejabat Negara yang sudah terbukti korupsi. Semua terlindungi dalam bentuk pernyataan “masih dalam proses hukum”, tapi proses hukum yang tidak berkesudahan. Bahkan beberapa pejabat yang sudah terbukti korup pun dibiarkan memegang kekuasaan. Ini ironi yang sekaligus kemudian menimbulkan skeptisme dalam masyarakat mengenai niat pemerintah memberantas korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang telah melakukan upaya-upaya penegakan hukum, tapi masih menimbulkan kesan “tebang pilih” karena hanya mereka yang memiliki hubungan politik dengan rezim sebelumnya saja yang diproses secara hokum, sedangkan mereka yang memiliki hubungan dekat dengan penguasa saat ini tidak diapa-apakan.

Dua hal di atas, yaitu di satu pihak masyarakat menganggap korupsi hanya merupakan persoalan hukum semata dan di lain pihak penegakan hukum tidak jalan itulah yang membuat gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia sepertinya jalan di tempat alias tidak menghasilkan apa-apa. Memang sesekali ada terapi kejutan tentang seorang koruptor yang ditangkap kejaksaan atau kepolisian. Tapi masyarakat terkejut juga ketika mengetahui bahwa yang ditangkap itu bukan kelas kakap, tapi kelas teri saja dan tidak lama kemudian dibebaskan dari segala tuduhan korupsi. Atau hukuman yang dijatuhkan sangat ringan, jauh lebih ringan dibandingkan dengan hukuman yang diberikan kepada seorang pencuri ayam dengan alas an untuk makan (survive).

Persoalan Perilaku

Memecahkan masalah korupsi dari aspek hokum saja adalah suatu langkah yang sia-sia karena pasti tidak akan memperoleh penyelesaian yang maksimal, seperti yang diharapkan semula. Upaya untuk memberantas korupsi perlu dilakukan secara komprehensif, termasuk melalui melalui tindakan ekonomi, politik, social, budaya, dan adapt kebiasaan masyarakat.

Secara ekonomis, gaji PNS yang ada sekarang ini memang cenderung mendorong untuk korupsi karena tidak rasional sehingga untuk dapat bertahan hidup sampai satu bulan si PNS yang bersangkutan harus banyak akal, termasuk korupsi uang rakyat. Oleh sebab itu sistem penggajian yang rasional perlu segera diterapkan. Sistem penggajian rasional yang dimaksudkan adalah gaji PNS itu dapat untuk hidup satu bulan penuh dengan standar hidup layak, minimal untuk satu pasangan suami istri dengan dua anak. Sistem penggajian itu juga perlu mempertimbangkan standar harga-harga local seperti yang terjadi pada decade 1950-an. Jadi besarnya gaji PNS tidak sama untuk golongan yang sama, tergantung wilayah mereka tinggal. PNS yang tinggal di wilayah Jabodetabek ( Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) otomatis memperoleh gaji yang lebih tinggi dibandingkan dengan PNS lain di Jawa karena biaya hidup di Jabodetabek relative lebih mahal dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Demikian pula PNS yang tinggal di luar Jawa memperoleh gaji yang berbeda dengan gaji yang diterima oleh PNS di Jawa, karena kondisi geografis luar Jawa yang buruk menyebabkan harga barang-barang di sana jauh lebih mahal daripada di Jawa sehingga dengan sendirinya mereka perlu memperoleh gaji lebih tinggi agar gajinya cukup untuk hidup satu bulan.

Memang tidak ada jaminan bila gaji PNS ditingkatkan secara otomatis korupsi akan hilang. Tapi bila gaji PNS sudah rasional, akan mengurangi kambing hitam penyebab munculnya korupsi. Salah satu kambing hitam yang mudah ditunjuk dari terjadinya korupsi sekarang ini adalah gaji PNS yang amat rendah, hanya cukup untuk hidup selama dua minggu saja, sehingga dua minggu berikutnya PNS harus “kreatif” untuk memperoleh pendapatan baru termasuk ngakal-ngakali anggaran alias korupsi. Bila gaji sudah dibuat rasional, maka tidak ada alibi bagi PNS untuk melakukan korupsi sehingga mudah dikenai sanksi. Selama ini Pemerintah tidak bisa bertindak tegas karena ketegasan itu bisa menjadi senjata makan tuan, misalnya “memang Pemerintah memberikkan gaji yang cukup?”

Selain menaikkan gaji PNS menjadi lebih rasional, proses rekruitmen PNS baru juga tidak boleh menggunakan sistem KKN, terutama uang pelicin. Sebab kalau seseorang diterima sebagai PNS melalui cara-cara suap, maka secara otomatis yang ada dalam benaknya adalah bagaimana mengembalikan modal yang dipakai untuk menjadi PNS tadi. Berbagai cara ditempuh, termasuk memanipulasi anggaran agar modal yang dipakai untuk menjadi PNS cepat kembali.

Secara politis, proses pembuatan anggaran Negara (APBN) dan daerah (APBD) harus lebih partisipatif sehingga masyarakat dapat mengetahui ke mana saja aliran dana (APBN/APBD) itu. Jangan-jangan aliran dana itu 75% habis untuk belanja pegawai dan dana nonbudgeter bagi pejabat yang bersangkutan (presiden, menteri, gubernur, walikota/bupati). Dana-dana non budgeter itu umumnya membuka peluang korupsi yang sangat besar karena penggunaannya memang tidak diatur secara detail dalam mata anggaran. Bila masyarakat dilibatkan dalam penyusunan APBN/APBD, maka diharapkan tingkat kebocoran dan pemborosan anggaran dapat terdeteksi sejak awal, sehingga korupsi juga dapat ditekan. Paradigma lama yang selalu menyatakan bahwa penyusunan anggaran sifatnya tertutup dan rahasia itu perlu diubah, bahwa tidak ada rahasia yang harus ditutupi untuk hal yang menyangkut kepentingan publik. Penggunaan dana APBN/APBD itu harus dibuat setransparan mungkin sehingga dapat memperkecil peluang untuk korupsi bagi pejabat.

Selain prosesnya penyusunan APBN/APBD yang harus partisipatif dan transparan, alokasi dana untuk kebutuhan rakyat secara langsung juga harus lebih besar agar selain rakyat bisa hidup lebih sejahtera, juga dapat mengurangi proporsi uang yang dapat dikorup. Masyarakat sulit melakukan kontrol terhadap penggunaan dana APBN/APBD yang proses penyusunannya tidak partisipatif dan tidak transparan, karena masyarakat tidak tahu berapa besar yang dialokasikan untuk rakyat secara langsung dan berapa besar yang dipakai untuk anggaran rutin. Sayang, ketidak-pedulian masyarakat terhadap proses penyusunan anggaran masih tinggi dan ketertutupan birokrat dalam proses penyusunan anggaran itu juga sulit ditembus.

Secara sosial, relasi manusia satu dan lain hendaknya tidak didasarkan pada kepemilikan materi, tapi didasarkan pada solidaritas sosial dan rasa kemanusiaan yang tinggi. Paling tidak cara kita mengapresiasi orang lain tidak didasarkan pada besaran materi yang mereka miliki, tapi pada harkat dan martabatnya sebagai manusia. Memang ini agak susah diwujudkan, tapi bukan suatu hal yang mustahil dilakukan, asal ada kemauan dari masyarakat. Sebab selama cara kita mengapresiasi orang lain lebih didasarkan pada materi yang mereka miliki, maka tanpa disadari itu mendorong orang lain untuk melakukan akumulasi capital sebanyak-banyaknya guna mendapat apresiasi yang tinggi dari sesama, tanpa memperhatikan cara-cara yang mereka lakukan untuk akumulasi kapital itu. Kecenderungan untuk memperoleh pujian “wah” membuat orang sering terlena, sehingga tidak memiliki kontrol untuk tidak korupsi. Padahal, para orang tua selalu mengingatkan agar kita jangan terkesima dengan pujian “wah” karena itu pada akhirnya itu menjadi “wuh” (uwuh atau sampah). Kecenderungan untuk memperoleh pujian “wah” dari sesamanya itu memiliki andil besar sekali dalam menciptakan perilaku yang korup; karena seperti orang mabuk yang tidak lagi punya daya kontrol secara rasional lagi. Pujian itu ibarat candu yang nikmat untuk diisap terus menerus sehingga kemudian lupa daratan.

Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan dan lainnya, perilaku masyarakat yang irasional itu diperlihatkan dengan kecenderungan untuk membeli mobil-mobil baru (dan mewah), meskipun mereka tidak memiliki garasi sendiri. Semuanya itu terjadi karena demi prestise yang mereka peroleh dari lingkungan terdekat (tetangga), keluarga, maupun lingkungan pergaulan. Dengan kata lain, pertimbangan prestise itu telah mengorbankan rasionalitas berfikir dan bertindak manusia Indonesia, yang kemudian melahirkan koruptor-koruptor baru di masyarakat.

Kehadiran alat telekomunikasi seperti Hand Phone (HP) di Indonesia dalam lima tahun terakhir ini juga telah merusak rasionalitas berfikir dan bertindak manusia Indonesia. Banyak orang yang gajinya hanya sebatas UMR tapi memiliki HP dan ber-HP ria sehingga gaji mereka habis untuk beli pulsa. Pelajar dan mahasiswa yang belum memiliki pendapatan sendiri juga ber-HP ria, padahal itu jelas memboroskan uang untuk sesuatu aktivitas yang tidak jelas manfaatnya. Itu semua terjadi karena HP dilihat sebagai simbol prestise dalam pergaulan. Maka, kepemilikan terhadap merk-merk HP yang up to date menjadi kecenderungan anak muda sekarang. Karena siapa memiliki HP merk terbaru akan dianggap paling “ter” (terkaya, termodern, terdepan).

Secara budaya, pola hidup boros dan besar pasak daripada tiang merupakan akar dari tindak korupsi. Oleh sebab itu, bila mau memberantas korupsi maka kita perlu terbiasa hidup secara sederhana dan apa adanya sajan (dalam istilah Jawa hidup prasaja). Sederhana dalam artian apa adanya atau berdasarkan apa yang dimiliki sendiri, sedangkan prasaja dalam artian tidak mengada-ada, sekedar untuk mendapat pujian “wah”. Nur Sutan Iskandar, pujangga Balai Pustaka, dalam Novelnya Katak Hendak Jadi Lembu, memberikan refleksi kepada kita mengenai hubungan gaya hidup dengan perilaku korupsi.

Suria, nama utama dalam novel itu digambarkan sebagai seorang pegawai rendahan, juru tulis di Kantor Patih di Sumedang Jawa Barat. Meskipun begitu gaya hidupnya mewah, suka tampil parlente, makan keju dan roti, suka kondangan, membeli barang-barang perabotan rumah tangga yang mahal-mahal sehingga nampak dari luar sebagai orang yang hidup berkecukupan. Tapi di sisi lain, Zubaidah istrinya, hidup menderita karena ulah suami yang sok kaya itu, padahal untuk itu istrinya harus sering mencari utangan ke sana ke mari untuk kebutuhan rumah tangganya. Suria pun kemudian menilep uang kantor sebesar Rp. 325.75,- guna mengembalikan pinjaman yang dipakai untuk lelang barang-barang mewah milik mantan pejabat di kantornya. Karena tidak mampu mengembalikannya, Suria kemudian mengundurkan diri dari posisinya sebagai pegawai kantor karena korupsinya itu. Akhir cerita, Zubaidah, istrinya sakit jantung akibat beban berat merasakan keangkuhan suaminya itu, sedangkan Suria sendiri setelah gagal mencari pekerjaan di Jakarta kemudian balik ke Tasikmalaya dan hidup sebagai tukang anyam tikar di sana sekedar untuk dapat menyambung hidup. Namun setelah tidak kuat menjalani hidup tersebut ia kemudain pergi menggelandang.

Setting cerita novel itu adalah pada tahun 1930-an ketika dunia, termasuk Indonesia dilandar krisis ekonomi yang hebat atau yang lebih dikenal Malaise, orang kita menyebutnya musim meleset, karena pada masa itu apa saja yang dikerjakan meleset semuanya, tidak membuahkan hasil. Meskipun setting ceritanya tahun 1930-an, tapi problem social yang disodorkannya masih relevan dengan kehidupan para PNS sekarang, yang juga suka hidup mewah, glamour, dan ingin mendapat pujian “wah”. Suatu gaya hidup yang berpotensi untuk korupsi. Sayang ajaran moral yang ditawarkan oleh Nur Sutan Iskandar itu tidak banyak dikenal oleh generasi sekarang, karena kesalahan persepsi bahwa ajaran moral seakan-akan hanya dapat diperoleh melalui pelajaran agama saja. Padahal, karya-karya sastra pada masa Balai Pustaka itu menyodorkan ajaran-ajaran moral yang sangat kuat dan bijak.

Hidup sederhana dan prasaja itu dapat menjadi mekanisme kontrol terhadap perilaku yang korup. Sebab dengan hidup sederhana dan prasaja itu orang tidak nganeh-nganehi (banyak tingkah) untuk menunjukkan kehebatannya, seperti yang ditampilkan oleh sosok Suria dalam Novel Katak Hendak Jadi Lembu tersebut, tapi akan hidup nrimo. Nrimo (menerima apa adanya) dalam hal ini bukan berarti pasrah secara fatalistic, melainkan mensyukuri segala pemberian-Nya, meskipun pemberian yang diterima itu terbatas bila dibandingkan dengan yang diterima oleh orang lain. Sebagai contoh, Bila yang dipunyai adalah pakaian yang tidak bermerek ya pakai itu saja, yang penting sopan, tidak perlu ngoyo harus cari pakaian yang bermerek. Bila mampunya membeli sepeda onthel, maka tidak perlu bermimpi, apalagi sampai ngoyo (susah payah) beli sepeda motor dengan menjual semua harta miliknya atau korupsi.

Semua perilaku konsumtif yang di luar batas kemampuan itu adalah benih-benih subur untuk tindak korupsi. Benih-benih semacam itu tidak mungkin akan mati begitu saja dengan tindakan hukum atau sanksi social saja, karena persoalannya memang bukan masalah hukum, tapi perilaku sehari-hari yang didorong oleh nafsu individu untuk memperoleh pujian “wah” sehingga pada akhirnya melahirkan “wuh” (sampah) belaka. Gaya hidup seperti yang ditampilkan oleh tokoh Suria dalam Novel Katak Hendak Jadi Lembu itu tidak dapat diatasi dengan pendekatan hukum, tapi melalui pendekatan personal dan budaya. Pendekatan hokum tidak mampu menjangkaunya karena hokum selalu menuntut bukti hitam di atas putih. Sementara permainan Suria sangat rapi sehingga tidak ketahuan orang lain kalau dia membeli perabotan rumah tangga yang mewah itu dengan menggunakan uang kantor, karena dia pula lah yang pegang uang di kantor. Dirinya baru ketahuan korupsi ketika tanpa sebab mengajukan permohonan untuk berhenti bekerja. Menteri Patih –sebagai atasannya—yang penasaran ingin mendapatkan alasan pengunduran diri itu kemudian memeriksa pembukuan yang dilakukan oleh Suria dan ternyata ditemukan sejumlah uang yang dipakai oleh Suria. Tapi kasusnya diselesaikan dengan cara kekeluargaan, yaitu Suria mengembalikan uang itu setelah menjual kembali perabotan rumah yang dia beli, sehingga Suria tidak terkena hukuman, kecuali mundur dari jabatan juru tulis.

Jadi, kalau memang sungguh-sungguh ingin memberantas korupsi dan ingin melaksanakan pendidikan anti korupsi, maka masalahnya bukan masalah metodologis: materi apa yang harus diberikan dan bagaimana memberikannya, tapi yang lebih penting adalah adanya landasan filosofis yang harus dipegang secara kuat, seperti misalnya filsafat hidup sederhana itu harus ditumbuhkan di masyarakat sejak dini. Mustahil korupsi itu akan hilang dari bumi pertiwi, meskipun ada upaya penegakan hukum dari presiden; bila pola hidup konsumtif dan besar pasak daripada tiang masih mendominasi perilaku manusia Indonesia. Penegakan hukum hanyalah upaya kuratif saja, sedangkan penanaman nilai-nilai hidup sederhana dan prasaja adalah tindakan preventif (mencegah sebelum korupsi terjadi). Sama dengan penyakit badan, dalam menangani penyakit masyarakat, tindakan preventif itu jauh lebih penting dan strategis dibandingkan dengan tindakan kuratif. Sebab tindakan kuratif hanya mengena kepada mereka yang bersangkutan, tapi tindakan preventif dapat menyentuh lapisan masyarakat yang lebih luas.

Kendalanya adalah tindakan preventif itu tidak heroik dan tidak menghasilkan proyek baru sehingga tidak menarik perhatian dan tidak diminati oleh para “pejuang” anti korupsi. Kecuali itu, model pendidikan nilai ini juga tidak bisa dirumuskan ke dalam metode praktis dan aplikatif, apalagi langsung thokcer, seperti yang sering ditawarkan oleh para konsultan dari luar negeri. Tapi sistem pendidikan nilai tentang pentingnya hidup sederhana dan prasaja itulah cara efektif untuk memberantas korupsi dan sekaligus menjadi pegangan untuk melaksanakan pendidikan anti korupsi.

Hanya saja, dalam suatu masyarakat yang sangat materialistis - positivistik, model pendidikan semacam ini pasti dianggap hanya ngoyoworo (asal bicara tanpa makna), karena orang sudah terlanjur mempercayai bahwa yang bagus hanyalah yang menggunakan metodologi kuantitatif dan datang dari konsultan asing. Tapi bila mau nyata-nyata bertekat melaksanakan pendidikan anti korupsi, jalan tersebut mutlak untuk dilalui. Bila tidak mau melewati jalan panjang itu, maka pemberantasan korupsi hanya sebuah wacana belaka dan pendidikan anti korupsi tidak akan menyentuh dimensi yang terdalam, boleh jadi hanya melahirkan proyek baru untuk dikorupsi pula. Jadi namanya proyek pemberantasan korupsi tapi kemudian melahirkan korupsi baru.

Nraktir dan Sumbangan Sebagai Akar Korupsi

Persoalan korupsi sampai sekarang masih dilihat sebagai masalah structural belaka. Artinya korupsi dianggap hanya terjadi dalam kaitannya dengan struktur kekuasaan saja, tidak ada kaitannya dengan aspek budaya, sehingga solusi yang ditawarkan pun selalu bersifat structural, seperti misalnya penegakan hukum yang dianggap sebagai satu-satunya cara mengatasi masalah korupsi.

Memang banyak orang sering mengatakan bahwa korupsi itu sudah menjadi budaya. Tapi bukan itu yang penulis maksudkan bahwa korupsi adalah persoalan budaya. Sebab penulis menolak pengertian bahwa korupsi adalah suatu budaya. Korupsi bukan budaya, melainkan penyimpangan perilaku social. Sebagai budaya berarti korupsi mengandung nilai-nilai (tertentu) yang diyakini kebenarannyanya dan dilaksanakan oleh masyarakat. Tapi dalam hal korupsi, meskipun banyak orang melakukannya, tapi korupsi itu dinilai sebagai suatu penyimpangan, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai budaya. Pengertian masyarakat bahwa korupsi telah membudaya barang kali lebih mengacu pada pemakluman masyarakat terhadap perilaku yang korup. Pengertian secara universal adalah korupsi itu suatu tindak kejahatan yang harus dilawan. Bahwa korupsi memiliki akar pada budaya, adalah benar adanya. Tapi makna kalimat ini jelas berbeda dengan kalimat yang menyatakan bahwa korupsi adalah suatu budaya.

Korupsi sebagai budaya sulit dipertanggungjawabkan kebenarannya. Tapi bila korupsi memiliki akar pada budaya masyarakat dapat dilacak secara mudah, salah satunya tercermin pada budaya menyumbang dan menraktir. Menyumbang adalah suatu tindakan yang diyakini memiliki nilai luhur karena bermakna menolong sesama. Demikian pula menraktir diyakini merupakan tindakan yang terpuji karena dapat membahagiakan orang lain. Tapi keduanya itu tanpa disadari merupakan embrio dari tindak korupsi terutama bila dilakukan di luar batas kemampuan, baik karena kesengajaan maupun tidak disengaja, melainkan karena keterpaksaan atas peran yang diembannya. Tiga contoh di bawah ini dapat memberikan gambaran pada kita semua betapa budaya menyumbang dan menraktir dapat menjadi akar subur dari tindak korupsi.

Contoh I:

Di suatu desa akan membangun tempat ibadah. Tapi karena kas desa tidak mencukupi, maka panitia memutuskan untuk mencari sumbangan dari luar. Beberapa nama yang potensial dicatat dan dibuat target berapa besar sumbangan yang diharapkan. Kebetulan ada tokoh di desa itu yang kenal dengan seorang pejabat di Jakarta, karena si pejabat itu dulu adalah muridnya sewaktu masih di SD. Maka sang tokoh itu pun kemudian ketiban sampur untuk melobi kepada pejabat di Jakarta yang dia kenal. Kunjungan kerja sang pejabat di daerahnya dipakai sebagai memontum baik untuk melobi. Sang pejabat, merasa dimintai bantuan oleh mantan gurunya tidak bisa berkutik, sehingga dengan berbagai cara ia mengusahakan supaya dapat memberikan bantuan. Padahal, jelas anggaran di departemennya tidak punya budget untuk itu. Tapi ini yang minta adalah mantan gurunya waktu masih di desa dulu, maka dengan berbagai cara diusahakan agar dapat memberikan bantuan, meskipun tidak sebesar yang dimintakan. Oleh karena gaji pejabat itu tidak besar, maka pasti bantuan itu dicarikan dari pos lain dan terpaksa harus ada pos yang dikorbankan atau dikurangi jumlahnya. Atau mungkin malah dicarikan cara lain yang lebih aman.

Contoh II :

Seorang warga kampong X menyelenggarakan hajatan manten untuk anak perempuannya. Ia menyebar undangan ke banyak orang, termasuk guru, lurah, camat, polisi, dan pejabat lain yang di lingkungan kecamatan. Guru, lurah desa, camat, polisi, dan pejabat lainnya itu merasa posisi sosialnya tinggi harus menyumbang lebih banyak daripada kebiasaan orang di kampong tersebut. Demikian pula orang kampong pun memiliki persepsi yang sama, bahwa guru, lurah desa, camat, polisi, dan pejabat lainnya harus menyumbang lebih banyak. “Masak mau sama dengan yang hanya bertani saja?”. Akhirnya yang terjadi memang seperti yang diharapkan: mereka yang memiliki status social tinggi itu selalu memberikan sumbangan lebih besar daripada orang kebanyakan. Semakin banyak orang yang mengundang mereka, maka semakin besar pula uang yang harus dikeluarkan untuk menyumbang. Bila mereka menyumbang seperti orang kebanyakan, maka pasti akan mendapat komentar sinis: “guru/lurah/camat/polisi kok menyumbangnya kecil”. Masyarakat tidak mau tahu bahwa gaji guru/lurah/camat/polisi dan lainnya itu terbatas, sehingga bila mereka dituntut untuk memberikan lebih sebetulnya juga memberi peluang untuk korupsi karena mereka juga tidak ingin rugi. Maka guru akan melakukan korupsi sebisa mungkin, lurah, camat, dan polisi juga melakukan korupsi guna mengembalikan uang-uang yang telah mereka keluarkan untuk menyumbang lebih itu.

 Contoh III

Suatu hari, salah seorang guru dari Sekolah X mengalami duka karena orang tuanya meninggal dunia. Karena masih keluarga dekat, maka para guru di sekolahnya beserta dengan kepala sekolah pergi melayat. Oleh karena rumah guru tersebut 30 km dari Sekolah X, maka perjalanan jauh itu pun memerlukan makan siang setelah pulang dari melayat. Rombongan mampir di warung makan. Ketika giliran membayar, para guru saling melirik, bertanya dalam hati siapa yang membayar. Pada akhirnya disepakati bahwa bayar bersama, tapi dengan nada canda ada guru yang nylethuk (bilang) bahwa bos (kepala sekolah maksudnya) tentu harus bayar lebih banyak, masak sama dengan anak buahnya! Bos pun karena gengsi akhirnya membayar lebih banyak.

Tapi untung di sini bos hanya diminta membayar lebih. Pada banyak kasus, bos sering ketiban sampur untuk menraktir karena bos dianggap punya uang lebih. Bos pun tidak mau rugi, maka kemudian dicarikan akal bagaimana agar uang yang dikeluarkan untuk menraktir itu bisa kembali. Akhirnya ada pos-pos yang dipotong atau dikorbankan untuk mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan. Dalam hal ini bos sudah korupsi, tapi korupsinya bukan karena dia tamak, melainkan karena keterpaksaan atas perannya sebagai bos. Lingkungan pergaulan yang ada memaksa bos untuk korupsi. Coba, kalau semua bayar sendiri-sendiri, maka bos tidak ada alasan untuk korupsi.

Kasus I adalah kasus menyumbang untuk kegiatan social keagamaan. Kasus II adalah menyumbang untuk kepentingan hajatan, sedangkan Kasus III adalah tindakan menraktir orang lain. Semuanya itu terjadi sebetulnya untuk menyenangkan orang lain dan dilakukan karena keterpaksaan atas peran yang diembannya. Baik pejabat yang di Jakarta, lurah/camat/polisi, maupun kepala sekolah tadi sama sekali tidak berfikiran ingin mencari pujian di hadapan bawahan atau mantan gurunya, melainkan karena keterpaksaan peran yang diembannya sehingga dirinya tidak bisa mengelak dari tuntutan social yang ada. Rasa ewuh pakewuh (sungkan) kepada mantan gurunya lebih mendominasi sang pejabat tadi untuk memberikan sumbangan pembangunan tempat ibadah di desa mantan gurunya. Demikian pula terjaganya prestise sebagai seorang pejabat public mendorong kepada mereka untuk menyumbang lebih besar daripada sumbangan orang kebanyakan. Hal yang sama dilakukan oleh kepala sekolah yang “rela” membayar lebih atau menraktir bawahannya, karena jabatan yang diembannya telah memaksa dia untuk bertindak demikian. Tapi setelah itu, baik pejabat di Jakarta, lurah, guru, camat, atau kepala sekolah tersebut pusing mencari jalan pengganti uang yang dikeluarkan untuk menyumbang atau menraktir itu agar uang pribadinya tidak berkurang. Dan inilah peluang tindak korupsi yang ditimbulkan oleh sikap mental masyarakat yang salah.

Ketiga kasus di atas bukan hal baru dan bukan satu-satunya contoh kasus, tapi selalu berulang terjadi di depan maka kita. Masyarakat selalu memiliki harapan yang berlebih kepada mereka yang memiliki jabatan tertentu atau kepada mereka yang sedang memperoleh rachmad. Harapan terhadap satu orang pejabat itu tidak hanya dibangun oleh satu dua orang saja, tapi dibangun oleh banyak orang. Akibatnya seorang pejabat yang sama memikul harapan banyak orang untuk memberikan sumbangan yang sama besarnya. Bukan hanya sumbang menyumbang pada orang hajatan, tapi bila ada iuran di kampong pun, masyarakat selalu berharap mereka (para pejabat itu) diharapkan memberikan sumbangan yang lebih. Semua warga berharap hal yang sama kepada seorang pejabat yang sama, akibatnya tanpa disadari kita memberikan beban yang berlebih kepada pejabat tersebut. Beban berat yang kita timpakan kepada para pejabat itu tanpa kita sadari telah mendorong pejabat yang bersangkutan untuk korupsi, sebab dari mana mereka bisa memperoleh uang yang lebih, mengingat tunjangan jabatan yang mereka terima juga kecil? Oleh sebab itu, bila kita tidak ingin pejabat itu korup, maka janganlah memberikan ekspektasi yang berlebih kepada pejabat untuk memberikan sumbangan yang besar kepada kita. Perlakukanlah para pejabat itu secara wajar. Bila perlu, jangan sekali-kali minta sumbangan apa pun kepada pejabat secara personal. Bila ingin minta bantuan untuk membangun tempat ibadah, lebih baik mengajukan proposal ke Departemen Agama, bila ingin minta bantuan sekolah, lebih baik mengajukan ke Departemen Pendidikan. Meminta bantuan kepada pejabat secara personal sama saja membuka peluang mereka untuk korupsi.

Jadi mentalitas masyarakat yang suka mengharapkan bantuan dari orang lain sebetulnya memberikan kontribusi yang besar untuk tumbuhnya tindak korupsi di masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat sendiri lah yang menciptakan suasana korupsi di kalangan pejabat publik. Seandainya masyarakat selalu bersikap kritis dan dan rasional, maka tentu saja dapat mengeliminaasi tindakan-tindakan korupsi.

Berfikir Rasional dan Kritis

Berdasarkan deskripsi di atas jelas bahwa upaya pemberantasan korupsi di Indonesia bukanlah persoalan hukum semata dan pendidikan anti korupsi bukanlah persoalan metodologis belaka. Keduanya merupakan persoalan yang amat kompleks. Pemberantasan korupsi tidak hanya memerlukan pendekatan hukum semata, tapi juga pendekatan ekonomi, politik, budaya, dan adat istiadat. Sedangkan pendidikan anti korupsi memerlukan landasan filosofis yang kuat, terutama menyangkut soal filsafat hidup sederhana. Sebab tanpa dilandasi oleh filsafat hidup yang jelas, maka proses pembelajaran anti korupsi itu akan sia-sia belaka. Pendidikan anti korupsi dengan cara memberikan materi pelajaran anti korupsi saja –baik terintegrasi dengan mata pelajaran lainnya maupun menjadi kurikulum tersendiri—hanyalah kamuflase alias bohong-bohongan saja, karena sama sekali tidak akan memberikan efek pada perubahan perilaku korup, bila tatanan budaya dan social di masyarakat tidak diubah agar tidak kondusif untuk tindak korupsi.

Gagasan untuk memberikan pendidikan anti korupsi secara verbal berangkat dari asumsi bahwa bila sejak kecil anak-anak diperkenalkan dengan bahaya korupsi, maka diharapkan setelah dewasa dan memegang suatu jabatan tidak akan korupsi. Kita lupa bahwa korupsi itu dilakukan oleh orang dewasa, bahkan orang tua terutama yang selalu berhubungan dengan transaksi tunai (rupiah). Mereka korupsi bukan karena tidak mengetahui bahaya korupsi, tapi karena berbagai hal tadi: keterpaksaan, tuntutan jabatan, untuk survive, mempertahankan gaya hidup borju, dll. Meskipun tidak terhindarkan pula banyak yang korupsi karena nafsu serakah seperti yang ditampilkan oleh sosok Suria dalam Novel Katak hendak Jadi Lembu tersebut.

Melihat kondisi social dan budaya masyarakat Indonesia yang sangat kompleks, maka yang diperlukan bukanlah model-model pendidikan anti korupsi seperti yang disusun oleh para ahli dari luar negeri, tapi suatu model pendidikan anti korupsi yang dapat menghancurkan pemahaman-pemahaman yang keliru mengenai ukuran keberhasilan seseorang, mengenai budaya sumbang menyumbang yang latah, kebiasaan mengharapkan bantuan orang lain, suka hidup foya-foya atau besar pasak daripada tiang, dan sejenisnya.

Model pendidikan yang mampu menghancurkan pandangan-pandangan keliru dalam masyarakat itu adalah model-model pendidikan yang dapat mengajarkan orang berfikir kritis dan rasional. Salah satu ciri orang berfikir kritis adalah selalu mempertanyakan apa yang ada di balik dari yang tampak tersebut. Orang yang kritis tidak akan menerima sesuatu apa adanya, tapi akan selalu bertanya, darimana uang itu diperoleh ketika melihat seorang pejabat Negara atas nama individu memberikan sumbangan besar untuk pembangunan tempat ibadah atau sumbangan lainnya. Seorang yang kritis juga akan bertanya, bagaimana para pejabat rendahan itu bisa hidup wajar, tidak korupsi bila mereka selalu dituntut untuk memberikan sumbangan yang lebih dari pada yang diberikan oleh orang kebanyakan. Sedangkan sikap yang rasional akan mengajarkan orang untuk mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan rasio yang kuat. Suria, yang hanya juru tulis itu tidak akan hidup bergaya borju bila ia berfikir secara rasional, bahwa gajinya sebagai juru tulis hanya cukup untuk bisa hidup pas-pasan saja, sehingga tidak perlu hidup borju. Mahasiswa yang bersikap rasional, mereka akan pergi kuliah dengan naik sepeda karena mereka belum mampu membeli sepeda motor atau mobil. Juga tidak akan ber-HP ria karena belum mampu membeli pulsa sendiri. Jadi berfikir rasional dan kritis itu merupakan kendali utama orang dapat terhindar dari jebakan tindak korupsi, sebab orang yang berfikir rasional dan kritis pasti tidak konsumtif. Padahal, pola hidup konsumtif itu merupakan salah satu factor pemicu orang melakukan korupsi.

Pendidikan yang mampu menghancurkan pandangan-pandangan yang keliru itu harus bertumpu pada penguasaan landasan filosofis yang kuat dan metodologi yang tepat. Sebab penguasaan landasan filosofis yang kuat saja tapi tidak didukung oleh kemampuan metodologis di dalam proses pengajarannya, maka akan jatuh pada ceramah melulu, sehingga menjadi tidak menarik. Sebaliknya, kuat dalam metodologi penyampaian tapi lemah pada penguasaan filosofis, maka ibarat orang jualan jamu saja, yaitu mulut sampai berbusa-busa tapi belum tentu ada yang mau membeli jamunya.

Saya menangkap adanya kekeliruan pada pihak-pihak yang mengusung pendidikan antikorupsi di sekolah-sekolah formal. Mereka membayangkan bahwa pendidikan anti korupsi itu seperti pendidikan pada umumnya, akan terlaksana dalam satu kurikulum yang baku dan diajarkan oleh guru secara khusus dengan buku pegangan secara khusus pula. Sudah dapat diperkirakan bahwa model pendidikan anti korupsi semacam itu akan gagal karena pasti akan terjebak pada penguatan aspek kognitif saja. Padahal yang diperlukan adalah suatu model pendidikan yang mampu menyentuh aspek afektif dan psikomotorik, karena korupsi adalah suatu tindakan nyata dan bukan sekedar pengetahuan belaka. Oleh sebab itu pendidikan anti korupsi yang berhasil adalah model pendidikan yang mampu menggugah kesadaran orang untuk berbuat melawan korupsi. Untuk itu, kuncinya bukan pada banyaknya materi yang diberikan, melainkan pada kemampuan membongkar kesadaran hidup setiap orang dan sekaligus pemberian keteladanan dalam hidup. Tanpa adanya keteladanan hidup, maka omong kosong saja pendidikan anti korupsi di sekolah-sekolah formal tersebut. **

 

 

 Back To Daftar Isi

ARTIKEL UTAMA

Merancang Pendidikan Anti Korupsi:

Telikungan Kapitalisme Global Dalam Pendidikan

Oleh: Muhammad Saidi

 

Mencintai negara tanpa mencintai kemanusiaan,

sama saja dengan menyembah berhala

(Eric Fromm, 1955).

(i)

Persoalan pendidikan merupakan salah satu persoalan negara. Ketika penyelenggaraan pendidikan tidak dikelola sesuai dengan kebutuhan warganya, negara berada di ambang kebangkrutan. Kebangkrutan dalam pendidikan, jauh lebih berbahaya daripada kebangkrutan (krisis) ekonomi. Sebab di dalamnya terkandung kekayaan budaya, nasionalisme, patriotisme, humanis, moral, pengetahuan, teknologi, dan sebagainya yang diproduksi oleh pendidikan. Apabila pendidikan menjadi semrawut, maka nasib negara di masa depan akan sangat memprihatinkan.

Sebagaimana kita tahu, pendidikan sebagai alat: menyalurkan ilmu pengetahuan, pembentukan watak, pelatihan keterampilan, mengasah otak, meningkatkan pemekerjaan, investasi, komsumsi, menanamkan nilai-nilai moral, pembentukan kesadaran bangsa, meningkatkan taraf ekonomi, mengurangi kemiskinan, mengangkat status sosial, menguasai teknologi, menguak rahasia alam raya, menciptakan keadilan sosial, pemanusiaan, pembebasan, dsb (Jacks, Freire, Rogers and Ruchlin, Blang, ul-Haq, Edwards and Todaro, Schumaacher, Scheffer, Hendley, dalam Francis Wahono).1

Oleh karena sebagai alat, pendidikan seringkali tidak “merdeka”. Ia terkungkung (dan diperalat) oleh banyaknya kepentingan penyelenggaraan negara dengan mengatasnamakan kerakyatan, keadilan, kesejahteraan, kemanusiaan dan tetek bengek lainnya yang dibaik-baikkan agar warga negara merasa (ikut) bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Tetapi kemudian, seringkali warga negara menjadi korban dari sistem pendidikan yang dirancang untuk kepentingan sektor tertentu. Anehnya, sedikit sekali warga negara yang memberontak ketika sistem yang berlaku itu merugikan masa depannya. Mereka (warga negara) merasa, pada saatnya, setelah serimoni pendidikan sudah dijalani dengan sempurna, anak bangsa itu akan menjadi pekerja yang tangguh, dan mampu merekuh sektor ekonomi dengan mudah. Padahal jati diri tujuan terselenggaranya pendidikan adalah ‘pemanusiaan manusia’—sehingga menjadi humanis yang hakiki.

Konstelasi pendidikan semacam itu cenderung tumbuh subur di negara-negara berkembang. Sikap pendidikan di negara-negara Dunia Ketiga sangat kuat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh gambaran, bentuk dan sifat atau karakter proses pembangunan (Tundaro, 1995:386)2. Karena itu, sistem pendidikan tidak segera menemukan bentuk, karena proses pembangunan sangat kental mewarnai dunia pendidikan. Pendidikan dipolakan sebagaimana layaknya kebutuhan pasar. Dan tentu, karena pasar tidak pernah ajeg, kurikulum pun—perangkat lunak yang mengatur jalannya roda pendidikan—dipaksa-paksakan, sering oleng oleh banyaknya kepentingan.

Bermuara dari asumsi di atas, korupsi dalam dunia pendidikan mulai tumbuh subur. Pengelola pendidikan—para birokrat pendidikan—menggiring pengelolaan pendidikan sebagai wahana yang “basah” oleh pembagian kue-kue pembangunan. Untuk menjadi pengelola pendidikan pun, mereka berebut, dan bukan rahasia lagi, calon pengelola itu rela mengeluarkan dana yang lumayan besar untuk masuk pada peringkat ‘pengelola’. Sebuah perilaku yang sangat naif. Padahal mengelola pendidikan yang paling utama adalah mengelola manusianya, selain unsur ekonomi (material) yang mengikutinya.

Karena diberlakukan ‘sistem rebutan’ dalam pengelolaan pendidikan, maka standar ‘pantas’ dan ‘tidak pantas’ tidak berlaku. Yang ada hanya sebuah euforia yang dipaksa-paksakan, meskipun kemudian pengelolaan berjalan apa adanya. Lalu, pengelolaan sekolah—sebagai bagian penting dalam dunia pendidikan—terkesan primitif, berjalan apa adanya, dan cenderung mempertahankan anti kemapanan.

Dari fenomena yang demikian, muncul sebuah pertanyaan klasik yang tak pernah mendapat respon baik: Salah siapa semua ini?

Aku berpikir maka aku ada (Descartes)

Aku memberontak maka aku ada (Albert Camus)

(ii)

Sebenarnya ada tiga penyebab utama terjadinya korupsi dalam dunia pendidikan dan persekolahan. Pertama, pemaksaan kepentingan. Dalam Dunia Ketiga, sebagaimana disinggung di atas, pendidikan cenderung menjadi alat pada satu sektor kepentingan yang bernama pembangunan. Karena dibungkus dengan kata ‘pembangunan’, maka semua tujuan dan piranti yang mengikutinya—termasuk proses pembelajaran—diarahkan untuk mendukung pembangunan. Guru yang berada di lini terdepan dipaksa tunduk pada kekuasaan untuk turut mendukung pembangunan. Pusat kekuasaan merancang konsep kemajuan dengan memberlakukan sistem nilai. Pendidikan dianggap selesai dengan segala serimoninya kalau berhasil meraih nilai tertentu. Meskipun proses dalam meraih nilai standar dilalui dengan penuh rekayasa. Para pengelola di pusat kekuasaan merasa puas karena indeks pelulusan di papan data semakin meningkat. Padahal standar yang dipakai masih berkutat pada ranah kognitif yang tidak melalui kognisi, sementara ranah yang lain seperti ranah afektif dan psikomotorik diabaikan.

Sebenarnya, keberhasilan meluncurkan standar pelulusan (dan kemajuan) dalam dunia pendidikan diikuti oleh keberhasilannya ‘menipu’ (dalam tanda petik) negara. Pemaksaan standar sebenarnya (karena) ada kue pembangunan yang harus dipilah dan dihabiskan di pusat kekuasaan. Ini sangat memprihatinkan, sebab ternyata pendidikan tidak lagi disentralkan pada pemanusiaan manusia, tetapi untuk kepentingan elitis pengelola. Mengelola pendidikan dianalogkan dengan mengelola mega proyek yang berlimpah kemewahan. Anak bangsa menjadi korban dari perilaku semacam ini.

Pemaksaan yang lain adalah keseragaman manajemen (pengelolaan), termasuk di dalamnya manajemen sekolah. Pola keseragaman yang cenderung dinomorsatukan di Indonesia ditentang habis-habisan oleh INS Degeng, pakar teknologi pembelajaran. Menurut Degeng, pola keseragaman dilanggengkan serapi mungkin. Di Indonesia misalnya, seragam sekolah berlaku dari TK sampai SMA. Pola semacam ini melanggengkan pendidikan (berpola) behavioristik, bukan berharap menjadi kontruktuvistik.3 Padahal pemaksaan penyeragaman semacam ini membelajarkan insan pendidikan ‘mencuri’ kesempatan berkorupsi meskipun dalam tataran yang sederhana.

Pemaksaan penyeragaman manajemen yang diagung-agungkan belakangan ini adalah paket MPMBS (Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah). Ada harapan positif di balik itu, keterlibatan masyarakat dalam manajemen sekolah. Masyarakat diharapkan terlibat untuk bermitra memajukan sekolah, yang ujung-ujungnya bermitra dalam pembiayaan, bukan pembelajaran. Dengan cara ini, masyarakat ikut meringankan beban negara (baca: pengelola pendidikan). Masyarakat terkondisikan menjadi kelompok yang ‘riang’ menerima konsep itu hanya karena merasa di-“orang”-kan. Sementara anggaran pendidikan dinaikkan, dan upah guru digiring ke alam ‘mimpi’. Ini suatu bentuk telikungan kapitalisme terselubung dalam dunia pendidikan yang cenderung terjadi di Dunia Ketiga—tentu (?) Indonesia termasuk.

Kedua, karena ketidakmampuan. Ketidakmampuan dalam pengelolaan pendidikan (persekelohan dan birokrasi pendidikan) merupakan bagian penting yang mengundang korupsi dalam dunia pendidikan. Ketidakmampuan pengelolaan pendidikan diawali dengan lahirnya konsep Otonomi Daerah. Solichin Abdul Wahab berpendapat, bahwa konsep desentralisasi, betapapun bagusnya jelas akan tidak bermakna sama sekali (meaningless) bagi kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat daerah jika ia tidak pernah diupayakan secara serius untuk bisa mengakar dalam kultur birokrasi lokal dan diimplementasikan dengan baik (Wahab, 2001:21).4 Penataan Otonomi Daerah, termasuk pendidikan dan persekolahan di dalamnya, cenderung mencontoh pelaksanaan di daerah lain yang kultur dan hegemoni masyarakatnya berbeda, atau malah mempertahankan qou vadis.

Di sini, pada pelaksanaan Otonomi Daerah, penentu kebijakan Daerah, seringkali bersinggungan dengan politik lokal, sehingga penempatan pengelola pendidikan (baca: pejabat birokrasi pendidikan) dikait-kaitkan, atau dipaksa-paksakan dan dianggap ‘mampu’ berbuat dengan interpretasi yang sempit. Meskipun kemudian harapan untuk sebuah kemajuan dalam pendidikan ‘jauh panggang dari api’. Padahal jabatan pengelola (baca: penentu kebijakan) pendidikan bukan jabatan politik, tetapi merupakan profesionalisme dalam manajemen pendidikan. Solichin Abdul Wahab mengungkapkan, sejarah sistem pemerintahan di Indonesia sesungguhnya lebih dipenuhi dengan riwayat mengenai format birokrasi pemerintahan yang strukturnya bukan hanya sentralistis (highly centralized structure) tetapi juga tradisional feodalistis (historical background).5

Pengelolaan pendidikan seringkali dipahami sebagaimana petani tradisional mengolah ladangnya. Ia (petani) tidak pernah mau menerima teknologi pertanian yang jauh lebih canggih dan modern daripada yang dilakukannya selama ini. Ia tidak percaya pada teori-teori pertanian hasil dari penelitian dan rekayasa pakar. Akan tetapi, untuk sebuah kesuburan tanaman dan keberhasilan masa panen, petani itu menunggu keajaiban Tuhan. Uniknya, ia mempertahankan tanah ladang (leluhurnya)-nya dari gangguan kepemilikan pihak lain sampai darah penghabisan. Ilustrasi di atas membiarkan pengelolaan pendidikan persekolahan berjalan apa adanya, meski dengan cara primitif sekalipun. Ia (pengelola pendidikan) tidak mempunyai konsep kemajuan untuk menggiring pendidikan berjalan lebih sempurna. Hal ini mengundang perilaku korupsi masuk ke sekolah, dan bertahan di birokrasi pendidikan. Karena ia (pengelola pendidikan) merasa pantas dihormati, dan kedudukannya pun diperoleh karena kharismanya di tengah publik.

Ketidakmampuan pengelola pendidikan dalam mengalokasikan dana pada aliran yang benar, merupakan sebuah petaka baru dalam bingkai pemerataan pendidikan. Dan sangat ironis kalau kemudian Otonomi Daerah diartikan sebagai pengalihan korupsi dari Pusat ke Daerah. Anehnya, pengelola pendidikan yang sebenarnya tidak mampu menata pendidikan berjalan lebih sempurna, merasa benar dan ‘pantas’ berada di peringkat ‘pengelola’. Wacana tak terarah seringkali diluncurkan untuk menutupi kekurangannya.

Hasil survai Human Development Index (HDI), the Political Economic Risk Consultation (PERC), dan hasil studi the Third International Mathematics and Science Study-Repeat (TIMSS-R) yang mengungkapkan, bahwa kwalitas pendidikan di Indonesia sangat anjlok, jauh di bawah negara-negara berkembang.6 Hal itu disebabkan beberapa hal, di antaranya ketidak-mampuan pengelolaan. Hasil lembaga survai internasional itu sebagai peringatan kepada penentu kebijakan di Daerah agar pengelolaan pendidikan pada pelaksanaan otonomi Daerah dirancang dengan manajemen yang bermutu.

Ketiga, tata pendidikan tidak berkeadilan sosial. Francis Wahono mengungkapkan, tata pendidikan berkeadilan sosial adalah usaha membangun sistem pendidikan yang memberikan alternatif terhadap sistem pendidikan yang telah ada.7 Pendidikan di Indonesia dengan sistem yang dipakai terbebani dua persoalan besar, yaitu paradigma dan beban tanggungan yang besar.

Persoalan pendidikan di Indonesia sejak jaman kolonial Belanda mengagendakan dua jenis pendidikan: negeri dan swasta; kota dan daerah. Pilahan dua jenis pendidikan itu berkaitan dengan alokasi dana. Pada pengalokasian subsidi persekolahan negeri dan kota, dengan menganaktirikan swasta dan pelosok merupakan ‘pintu’ masuk peluangnya perilaku korupsi. Akan tetapi, di jaman yang serba berubah, pengalokasian subsidi pun terbalik, tidak imbangnya subsidi persekolahan negeri dan swasta, dengan mengesampingkan negeri dengan perilaku ‘balas dendam’. Padahal Pemerintah mengatur pendidikan dan persekolahan melalui Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan, dan Kepmen Pendidikan Nasional No. 296 a Tahun 2005 tentang Standat Minimal Pendidikan. Ada rumor yang (masih) perlu diteliti kebenarannya, persekolahan negeri tidak pernah—kalau pun ada sedikit sekali—memberikan fee sebagai ‘dana lelah’ kepada pengelola pendidikan. Hal ini, tentu saja, membuka peluang korupsi di lingkungan pendidikan. Pengelola pendidikan, meskipun negeri, merasa perlu mengagendakan dana siluman untuk mendapatkan kucuran subsidi demi perbaikan dan kemajuan persekolahan yang dikelola. Atau, persekolahan di pelosok yang tak pernah tersentuh subsidi merasa perlu melakukan hal yang serupa, sehingga mendapatkan bagian yang sama dengan sekolah bersubsidi.

Selain itu, korupsi dalam pendidikan disebabkan tanggungan negara yang cukup besar dan ketimpaangan ekonomi sosial. Sebagaimana kita tahu, penduduk di Indonesia 208,5 juta jiwa, sedangkan produsen atau penduduk yang bekerja produktif sebesar 94,8 juta. Ini berarti 94,8 juta menaggung makan 208,5 konsumen. Hal ini disebabkan terbatasnya lapangan kerja yang seringkali melahirkan kompetisi tidak sehat. Dari kompetisi tidak sehat itu, dapat ditebak, perilaku korupsi (KKN) mulai menjadi bagian penting untuk membuka kran pemekerjaan. Profesinalisme menjadi tidak penting dan tidak berarti apa-apa ketika dihadapkan pada persoalan ini, sebab yang utama ‘rekomendasi’ penentu kebijakan untuk memberi kesempatan menjadi produsen dan mendapatkan lapangan kerja.

Keempat, moral pengelola pendidikan (termasuk persekolahan) sangat memprihatikan. Di Indonesia, budaya ‘malu’ pada jabatan publik diabaikan. Ketika seorang pejabat publik melakukan serangkaian kesalahan, misalnya karena manajemen pengelolaan yang keliru, pejabat publik itu berupaya sekuat tenaga membela dan membenar-benarkan kesalahan itu. Berbeda dengan pejabat publik di Jepang, misalnya. Pejabat publik yang dianggap melakukan kesalahan manajemen—apalagi terjadi korupsi--karena human eror dengan sendirinya akan mundur tanpa tekanan dari siapa pun. Posisi tawar publik sangat kuat, sehingga konsep dan program pejabat publik yang akan menduduki jabatan itu harus dirancang sedemikian rupa, dan diuji (baca: presentasi) di depan publik sebelum dibakukan. Sebaliknya, di Indonesia pejabat publik semisal pengelola pendidikan berangkat dengan konsep kosong. Ia percaya bahwa konsep pengelolaan ditemukan di tengah jalan dengan prinsif “menyelam sambil minum air”. Budaya malu untuk mengakui ketidakmampuannya merupakan bagian dekadensi moral pejabat publik. Dan perlu diingat, tak seorang pun pejabat publik di Indonesia yang mundur karena ketidakmampuannya.

Kecenderungan menjadi pengelola pendidikan (sebagai jabatan ‘empuk’?) tidak dipandang sebagai panggilan moral—meskipun di dalamnya terdapat sederet persoalan anak bangsa, melainkan hanya sebagai gaya hidup (life style) dengan tampilan-tampilan formal yang serba komsumerialis. Ini bagian dari rusaknya moral pejabat publik, yang pada gilirannya berdampak ambruknya dunia pendidikan. Pengingkaran pada sumpah jabatan merupakan peluang yang mahabesar masuknya perilaku korupsi dalam pengelolaan pendidikan. Sementara, pembelajaran moral Pancasila dalam dunia pendidikan hanya menggiring harapan publik yang berlebih-lebihan (rising expectations).

Kegamangan moral pengelola pendidikan sebagai pejabat publik diawali dengan test kelayakan oleh penentu kebijakan di Daerah dilakukan setengah hati. Moral bukan merupakan bagian penting yang harus diujikan, tetapi hanya merupakan prasyarat ‘sampingan’ yang dipertimbangkan dengan penuh subyektifitas. Moral di sini tidak digambarkan sebagai perilaku ‘sempurna’ sebagaimana manusia yang memiliki tanggung jawab kepada publik. Tetapi hanya digambarkan sebagai manusia yang tekun melakukan ibadah (‘ubudiyah) dalam kehidupan sehari-hari, dan loyalitas ‘bengkok’ yang bisa diperalat oleh penguasa. Padahal tanggung jawab yang akan diemban adalah persoalan publik dan bersinggungan dengan moral anak bangsa, bukan sekedar persoalan pribadi dengan Sang Khalik, atau dengan kekuasaan (power).

Ketika pengelolaan pendidikan ambruk, dan diikuti oleh mewabahnya perilaku korupsi dalam dunia pendidikan yang disebabkan oleh keempat penyebab di atas, proses pengelolaan pendidikan diarahkan sebagai perilaku ambivalensi. Pengelola pendidikan ibarat penjual peti mati--sebagai ilustrasi yang sangat tepat menggambarkan persoalan pendidikan. Pedagang peti mati itu akan berduka dan (sekaligus) gembira manakala ada sahabat atau kerabatnya mati. Peti itu akan terjual, namun ia harus mengeluarkan biaya (meski hanya sedikit) untuk disumbangkan kepada keluarga si mati, setidaknya menyumbangkan tangis duka. Apabila pendidikan ambruk, pengelola (mungkin?) akan menangis karena ketidak berhasilannya dalam pengelolaan, tetapi akan merasa bahagia karena akan segera turun proyek pembenahan.

Dari sini tampaknya patut diajukan sebuah pertanyaan: Adakah mereka menyisakan nurani untuk sebuah kemajuan?

Tak cukup hanya dengan perlunya menyadari aksi,

tetapi harus pula mampu mengambil langkah langsung

untuk mengubah dunia ke arah keadilan sosial (Kozol).

(iii)

Korupsi merupakan perilaku yang paling memalukan dalam dunia pendidikan. Sebab salah satu tujuan pendidikan secara global adalah terciptanya manusia yang ‘manusiawi’—mengikuti aturan-aturan kemanusiaan yang disepakati, dan menjalankan ajaran agama dengan sungguh-sungguh. Dalam konkets ini, semua agama melarang korupsi. Dalam pengelolaan pendidikan (termasuk persekolahan) di Indonesia, peluang untuk berperilaku korupsi terbuka lebar, sebagaimana uraian di atas.

Untuk sebuah kemajuan pendidikan di Indonesia, Pemerintah (Pusat dan Daerah) bersama rakyat perlu merancang pendidikan anti korupsi. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk itu. Pertama, profesionalisme. Pengelola pendidikan dan persekelohan merupakan salah satu pendukung dalam sebuah kemajuan pendidikan. Oleh karena itu, pengelola pendidikan dan persekolahan harus memiliki sikap profesinalisme yang tinggi.

Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mendapatkan pengelola pendidikan dan persekolahan yang benar-benar profesionalisme adalah: (1) penentuan posisi pengelola harus dilakukan dengan test kelayakan (feed and propertest). Kelayakan tersebut berupa kelayakan manajemen (pengelolaan pendidikan dan persekolahan). Test ini tidak sekedar subyektifitas, tetapi obyektifitas (kuantitatif) yang diukur (baca: dinilai) selama calon pengelola tersebut memikul tanggung jawab pada pekerjaannya. Misalnya, bagaimana tanggung jawab sosok calon kepala sekolah selama menjadi guru, dan seterusnya. Apabila selama memikul tanggung jawab itu terdapat perilaku korupsi, tentu saja calon itu harus digugurkan. Sebab pada saatnya akan membuka ruang korupsi yang lebih besar ketika calon itu diluluskan. (2) visi dan misi yang akan ditampilkan. Selama ini pengelola pendidikan atau persekolahan seringkali tidak memiliki visi dan misi yang jelas untuk memajukan pendidikan atau persekolahan. Karena tidak ada visi dan misi sebagai tujuan yang pasti dalam pangelolaan. Program pengelolaan yang mengacu pada visi dan misi kemajuan pendidikan atau persekolahan disiarkan kepada publik, selain juga disampaikan kepada para penguji. Diharapkan publik memberi tanggapan dan menguji secara terbuka. Pada saatnya apabila pengelola pendidikan atau persekolahan menyelewengkan visi dan misi yang ditawarkannya, publik yang akan menuntut kinerja pengelola.

Penentuan posisi pengelola pendidikan dan persekolahan semacam ini berarti mengikutsertakan masyarakat terlibat di dalamnya. Selain itu, dunia pendidikan telah melakukan poliarkis, tradisi pemikiran yang memberikan apresiasi tinggi terhadap adanya ruang kebebasan bagi masyarakat, dan bagi tumbuh kembangnya pemikiran alternatif di luar pemikiran Pemerintah. Apapun bentuknya, masyarakat sebagai komponen penting bagi dunia pendidikan, sebagaimana tripusat pendidikan yang diharapkan Ki Hajar Dewantoro.

Kedua , pengawasan. Selama ini pengawasan birokrasi yang lumrah dilakukan di Indonesia adalah pengawasan intern organisasi. Bawahan diawasi oleh atasannya dalam satuan organisasi. Hampir tidak disediakan ruang bagi publik untuk ikut mengawasi jalannya birokrasi. Padahal, sebagaimana kita tahu, persoalan pendidikan adalah persoalan anak bangsa, yaitu berupa persoalan Pemerintah dan masyarakat.

Ada beberapa proses pengawasan yang bisa diterapkan dalam merancang pendidikan anti korupsi, (1) pengawasan dari atasan ke bawahan. Pengawasan semacam ini berupa pengawasan sebagaimana yang berlaku selama ini. Pejabat di atasnya mengawasi pejabat di bawahnya. Instrumen-instrumen pengawasan harus dirancang sedemikian rupa, sehingga pejabat di atasnya memiliki landasan kerja yang jelas, bukan karena ia sebagai pejabat di atasnya maka disegani atau ditakuti oleh pejabat di bawahnya; (2) pengawasan timbal balik. Pengawasan ini dilakukan oleh pejabat di bawahnya dalam intern organisasi. Memang, model pengawasan semacam ini terasa agak ‘kaku’ oleh karena tidak biasa dilakukan oleh pengelola pemerintahan. Akan tetapi efektifitas pengawasan pimpinan organisasi berada di tangan bawahannya. Sebab, staf, karyawan atau orang-orang yang terlibat dalam pengelolaan organisasi yang berada di bawah pimpinan mengetahui seluk-beluk persoalan intern organisasi. Tentu, karena berupa model pengawasan baru, Pemerintah harus merancang hak kepengawasan bawahan pada atasannya, sehingga ia memiliki kekuatan dan perlindungan hukum yang jelas; (3) pengawasan intra organisasi. Selain pengawasan intern organisasi, organisasi perlu melakukan ramifikasi dalam pengawasan. Ramifikasi berarti jalin-menjalin antarelemen dalam pengawasan. Organisasi lain, semisal Kantor Informasi dan Komunikasi, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Kantor Kekayaan, dsb, dsb, mempunyai hak pengawasan terhadap pengelolaan pendidikan. Sebaliknya, organisasi pendidikan dan persekolahan mempunyai hak yang sama untuk mengawasi jalannya organisasi yang lain. Dampak yang bisa diambil dalam pengawasan semacam ini selain sebagai kontrol, adalah kontribusi pemikiran untuk kemajuan; (4) pengawasan publik. Publik (masyarakat) diberi kebebasan mengawasi jalannya pengelolaan pendidikan. Publik di sini bukan diwakili oleh sekelompok orang atau sebuah organisasi yang selama ini mengatasnamakan masyarakat, semisal Wartawan, DPR, atau LSM (Lembaga Swadya Masyarakat). Akan tetapi, orang per seorangan atau kelompok orang diberi ruang untuk mengawasi jalannya pengelolaan pendidikan.

Pengawasan terhadap pengelolaan pendidikan bukan sekedar pengawasan pada pengelolaan dana. Melainkan juga proses pembelajaran dalam persekolahan berupa: perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Oleh karena itu, dalam pengawasan ini perlu diterapkan open management (manajemen terbuka) dan public auditing (audit publik) dalam pengawasan. Manajemen yang dimaksud di sini bukan sebatas manajemen pengelolaan dana, tetapi (juga) manajemen lainnya, seperti pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran. Sedangkan public auditing merupakan pintu ‘pembuka’ untuk menerima kehadiran publik mengaudit segala macam tetek bengek penngelolaan pendidikan dan persekolahan, dari aliran dana yang masuk sampai dengan pembelanjaan. Termasuk di dalamnya lembaga (baca: sekolah) swasta yang biaya pengelolaannya tidak dikeluarkan dari kekayaan pribadi pengelolanya.

Ketiga, sanksi. Sanksi merupakan konsukuensi dari sebuah kegagalan. Dalam pengelolaan pendidikan, sanksi harus diberikan kepada pengelola pendidikan yang gagal mengemban tugas, melakukan pelanggaran, dan penyelewengan. Hampir satu dasa warsa belakangan ini, sanksi yang dikenakan kepada pengelola pendidikan dan persekolahan (termasuk juga birokrasi yang lain) hanya disebabkan penyelewengan. Dalam arti sempit, penyelewengan itu berupa penggelapan dana. Sedangkan pelanggaran dan kegagalan pengelolaan selama ini diabaikan.

Merancang pendidikan anti korupsi adalah upaya menciptakan pendidikan yang bebas dari: korupsi waktu, penyelewengan dana, dan kegagalan program. Keberhasilan pengelolaan pendidikan, terutama persekolahan, merupakan keberhasilan penyelenggaraan negara. Sebab kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh maju tidaknya sistem pendidikan yang digulirkan kepada warganya. Waktu merupakan bagian penting yang harus diperhatikan oleh pembelajar. Sebab kegagalan dalam suatu waktu, atau mengabaikan waktu, berarti mengabaikan sebagian dari pengabdian. Perlu diingat, waktu tidak bisa diulang.

Hal lain yang sering terlupakan untuk diamati demi sebuah kemajuan adalah kegagalan dalam menjalankan program. Kegagalan pengelola pendidikan dan persekolahan belakangan ini masih dianggap kekeliruan kecil yang bisa dinafikan. Padahal gagal menggodok sebuah generasi karena (disebabkan) kegagalan menjalankan program, sama artinya dengan membunuh satu generasi itu. Dan generasi berikutnya akan timpang, sebab ia mempertahankan status qou.

Ada beberapa sanksi yang perlu ditimpakan kepada pengelola pendidikan yang melakukan kesalahan, penyelewengan dan kegagalan, berupa: (1) pemberhentian. Pengelola pendidikan dan persekolahan diberhentikan dari jabatannya sebagai pengelola (kepala) karena melakukan: penyelewengan dana, kegagalan menjalankan program kemajuan, dan melakukan kesalahan fatal yang mengakibatkan anak bangsa dirugikan. Oleh karena itu, pengelola pendidikan dan persekolahan yang tidak mempunyai program kemajuan tidak termasuk dalam pembicaraan ini. Sebab ia memang diruntuhkan dari awal oleh sistem yang merancang pendidikan anti korupsi. Auditing program bagi pengelola pendidikan dan persekolahan dilakukan dalam priode tertentu oleh semua elemen dengan fasilitas pembuka: open management. Sedangkan penyelewengan dana sebesar apapun memang harus ditanggapi serius dan dipertanggungjawabkan (di antaranya) kepada publik, yang pada gilirannya mendapatkan sanksi pemberhentian; (2) peringatan keras. Peringatan keras dijatuhkan kepada pengelola pendidikan dan persekolahan karena (misalnya) setahun dalam pengelolaannya terdapat program yang tidak bisa dijalankan. Untuk mengetahui keberhasilan pengelola pendidikan dan persekolahan perlu dilakukan auditing program dalam setahun kerja; (3) mutasi. Mutasi dilakukan karena pengelola pendidikan dan persekolahan dianggap lebih pas menduduki jabatan lain atau jenjang tertentu; (4) peringatan biasa. Sanksi ini merupakan sanksi yang paling ringan dijatuhkan kepada pengelola pendidikan dan persekolahan yang melakukan kesalahan-kesalahan kecil, yang tidak terlalu prinsif dan menyentuh pada kemajuan.

Semua sanksi yang dijatuhkan kepada pengelola pendidikan dan persekolahan diumumkan ke publik, sehingga publik merasa ikut membenahi sistem yang dipakai dalam suatu tataran tertentu.

Firman Tuhan telah membentuk sejarah kebudayaan kita.

Kita harus memutuskan, apakah kata “Tuhan” masih tetap memiliki makna bagi kita pada masa sekarang ini (Karen Armstrong).8

(iv)

Pendidikan adalah wahana. Sudah sejak tahun 900-an sebelum Masehi ketika sistem pendidikan mulai dilembagakan di kota Sparta, pendidikan tidak pernah diarahkan untuk dirinya sendiri (Thompson, Smith dalam Francis Wahono).9 Di jaman feodalis, kerajaan Tarumanegara, Sriwijaya dan Majapahit berupaya melanggengkan negara dan agama dengan cara menggiring warga negaranya pada pendidikan akhlak dan agama. Akan tetapi kemudian, pendidikan akhlak dan agama merupakan suatu kebutuhan ketika manusia mulai jenuh mencari jati dirinya, dan kekuatannya. Sayangnya, beberapa dasa warsa belakangan ini, pendidikan akhlak dan agama termarginalkan. Dalam arti, pendidikan akhlak dan agama diarahkan pada kemampuan ranah kognitif, bukan afektif dan psikomotorik.

Dari asumsi di atas, terbesit pertanyaan klasik: Masih percayakah kita bahwa Tuhan Mahakuasa? Masih adakah sisa keimanan kita, bahwa pelaku korupsi akan menerima azab Tuhan? Sebab, kehancuran negara karena kehancuran pendidikannya, dan sebaliknya, negara yang berbudaya karena pendidikannya berkembang maju. Itu saja.***

 

1 Francis Wahono (2001). Kapitalisme Pendidikan-Antara kompetisi dan keadilan. Cindelaras-Pustaka Pelajar: Yogjakarta.

2 Tundaro, Michael. P. terj. (1995). Ekonomi untuk Negara Berkembang. Bumi Aksara: Jakarta.

3 Prof. Dr. I Nyoman Sudana Degeng, M.Pd. (2003) Belajar-Pembelajaran (Makalah). LPPP UM: Malang.

4 Prof. Drs. Solichin Abdul Wahab, M.A., Ph.D., dkk. (2002). Masa Depan Otonomi Daerah. SIC: Surabaya.

5 Ibid.

6 Prof. Dr. Muchlas Samani. 2002. Kecakapan Hidup-Melalui pendekatan pendidikan berbasis luas. Tim Broad Based Education Depdiknas LPM Unesa: Surabaya

7 Francis Wahono (2001). Kapitalisme Pendidikan-Antara kompetisi dan keadilan. Cindelaras-Pustaka Pelajar: Yogjakarta.

8 Karen Armstrong. Terj. cet. Iv (2002) Sejarah Tuhan. Mizan: Bandung.

9 Francis Wahono (2001). Kapitalisme Pendidikan-Antara kompetisi dan keadilan. Cindelaras-Pustaka Pelajar: Yogjakarta.

 

Biodata

Magister pendidikan ini sering menggunakan nama Em Saidi Dahlan di berbagai tulisannya. Bukunya yang sudah terbit lebih dari 40 judul. Menulis artikel, features, dan cerpen di berbagai media ibukota dan daerah. Berkali-kali menjadi Juara Sayembara Penulisan Naskah Buku Bacaan Fiksi/Nonfiksi, Cerpen, Artikel, Sketsa, dan Kreatifitas Guru dalam Pembelajaran tingkat Nasional (1993 – 2005) yang diselenggarakan Pusbuk, Pusat Bahasa, Ditjen Dikdasmen Depdiknas, Litbang Diklat Agama dan Keagamaan Depag, LIPI, dan Umum. Ketua Sanggar Sastra “Adinda” Sumenep. Empat kali diundang ke Istana Negara mengikuti upacara dan ramah tamah bersama Presiden RI. Menjadi Editor Tamu di beberapa penerbit, dan Koordinator Penulisan Buku Bacaan/Pelajaran Prov.Jatim. Sekbid Litbang dan Pengembangan SDM PGRI Kab. Sumenep. Sampai kini sebagai Guru SD dan Dosen STKIP PGRI Sumenep.

 

 

 Back To Daftar Isi

Membumikan Tri Dharma Perguruan Tinggi Anti Korupsi

Lukman Hakim

DUNIA kampus di Indonesia mengenal istilah “Tri Dharma Perguruan Tinggi” yang bersubtansikan pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Di satu sisi, istilah ini diartikulasikan sebagai ‘kewajiban’ setiap kampus untuk melaksanakan ketiga pilar tersebut. Namun disisi lain, istilah itu sesungguhnya lebih dekat dengan makna ‘ruh’. Yaitu, jika tidak melaksanakan ketiga pilar itu, maka perguruan tinggi yang bersangkutan sesungguhnya hanya akan menjadi wadak tanpa nyawa. Perguruan tinggi akan menjelma menjadi tumpukan balok-balok bangunan yang di dalamnya berisi segerombolan dosen pencari nafkah atau mahasiswa pemburu ijazah.

Persoalan selanjutnya adalah bagaimana civitas akademika mampu membumikan Tri Dharma Perguruan Tinggi, sehingga ketiga pilar tersebut mampu difokuskan pada ‘Eka Dharma’ yang berarti perjuangan bangsa.

Dalam konteks pemberantasan korupsi yang kini menjadi musuh bersama. Perguruan tinggi perlu mengambil ibrah, baik yang bersifat prefentif melalui pembumian ketiga pilar tersebut pada langkah-langkah pencegahan korupsi, maupun yang bersifat represif dalam bentuk pemberantasan korupsi itu sendiri.

Jika hal itu secara sistemik mampu dilakukan perguruan tinggi, maka kegelisahan Teten Masduki akan bisa terjawab. “Saya punya obsesi mengembangkan gerakan sosial anti korupsi. Gerakan anti korupsi masih dalam proses pencarian bentuk, metodologi, ideologi, termasuk institusi. Obsesisi saya bagaimana menginstitusionalisasi gerakan ini, bukan gerakan sporadis, bukan sekedar menjadi whistle blower yang insidental atau kasuistik, tetapi gerakan melembaga. Penghargaan masyarakat tidak dalam bentuk pengakuan tetapi bagaimana gerakan yang kami rintis ini menjadi bagian dari gerakan masyarakat”10

Disisi lain pendidikan anti korupsi (prefentif-represif) penting untuk dilakukan sebagai bagian integral meluruskan demokratisasi yang kini tengah mengalami disfungsi11 . Universalitas demokrasi sesungguhnya bermakana memberikan ruang kebebasan bagi setiap manusia untuk mendapatkan hak-hak kemanusiaannya.

Jika pendidikan sebagaimana di atas mampu dilaksanakan, kekhawatiran Paulo Freire tentang proses pendidikan-dalam hal ini hubungan guru-murid- di semua tingkatan pendidikan dan bahkan perguruan tinggi yang masih identik dengan watak bercerita. Murid lebih menyerupai bejana-bejana yang akan dituangi air (ilmu) oleh gurunya. Karenanya, pendidikan seperti ini menjadi sebuah kegiatan menabung. Murid sebagai "celengan" dan guru sebagai "penabung".

Secara lebih spesifik, Freire menguraikan beberapa ciri dari pendidikan yang disebutnya model pendidikan "gaya bank" tersebut.

Sebagai jawaban atas pendidikan gaya bank tersebut, Freire menawarkan model pendidikan dialogis. Proses dialogis ini merupakan satu metode yang masuk dalam agenda besar pendidikan Paulo yang disebutnya sebagai proses penyadaran (konsientisasi). Menurutnya, konsientisasi merupakan proses kemanusiaan yang ekslusif.

Pembumian Tri Dharma Perguruan Tinggi tidak saja bermakna dialogis ala Freire, akan tetapi lebih dari itu merupakan The Riel Education yang seharusnya dibumikan dalam konteks prefentif-represif pemberantasan korupsi.

Tri Dharma Perguruan Tingi Anti Korupsi

Kegelisahan Teten Masduki pada perjuangan pemberantasan korupsi dan kekhawatiran Freire pada dunia pendidikan, sesungguhnya merupakan kegelisahan bangsa. Karena itu, perguruan tinggi harus menangkapnya sebagai momen strategis yang kemudian perlu di jawab dengan membuka program studi baru. Misalnya saja, di samping jurusan Ilmu Hukum yang ada di Fakultas Hukum, fakultas ini perlu juga membuka jurusan ‘Anti Korupsi’.

Jika hal itu sulit untuk dilakukan, ada baiknya Tri Dharma Perguruan Tinggi dibumikan menjadi Tri Dharma Perguruan Tinggi Anti Korupsi. Dengan cara ini metamorphosis perguruan tinggi akan terjadi sehingga bisa membingkai kegelisahan bangsa sebagaimana yang saya sebutkan di atas.

Dalam bidang pendidikan misalnya, perguruan tinggi harus berani merubah kurikulum dari yang semula belum terfokus pada pemberantasan korupsi dirubah menjadi “kurikulum yang berbasis anti korupsi”. Seperti matakuliah Ilmu Ekonomi, Hukum Internasional, Hukum Perdata Internasional, Ilmu Budaya Dasar, dll, yang tidak ada kaitannya dengan kemajuan daerah dan pemberantasan korupsi, dirubah dengan matakuliah; Hukum Korupsi, Analisa Anggaran, atau matakuliah lain yang lebih bermanfaat dalam meneguhkan ornament anti korupsi.

Perubahan kurikulum semacam ini tentu tidak bertentangan dengan semangat kurikulum nasional, apalagi sejak tahun 2003 lalu pemerintah telah mencanangkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang bersubtansikan otonomi seluas-luasnya pada penyelenggaraan pendidikan untuk menerjemahkan dan mengadaptasikan dengan kebutuhan daerah.

Dalam bidang penelitian, mahasiswa dan dosen juga difokuskan pada penelitian yang bersubtansikan anti korupsi. Moment wajibnya mahasiswa membuat skripsi harus ditangkap sebagai wahana strategis untuk meneguhkan ornament anti korupsi.

Hasil penelitian sebagaimana dimaksud tidak lagi menjadi ‘tumpukan’ kertas, namun ditindaklanjuti dengan proses diseminasi yang kreatif dan rancang tindak lanjut (action plan) yang efektif dan solutif.

Analisis data dari penelitian semacam ini tentu akan lebih sistemik sehingga mampu mempercepat pembongkaran selubung korupsi yang sudah sedemikian akut. Tanpa analisis yang holistic dan pengayaan data, bagaimana mungkin pembongkaran korupsi akan bisa terjadi.

Dalam bidang pengabdian pada masyarakat yang biasanya diartikulasikan dengan KKN (Kuliah Kerja Nyata) harus di rubah dengan “Anti KKN” (Korupsi Kolusi dan Nepotisme) dalam bentuk pendampingan kasus, advokasi, eksaminasi putusan peradilan, dan magang berbasis anti korupsi yang kemudian ditindaklanjuti oleh perguruan tinggi. Tindaklanjut hasil kajian dan penelitian anti korupsi yang dilakukan seluruh komponen civitas akademika akan mampu memperkaya ornament pemberantasan korupsi.

Peran profetik perguruan tinggi untuk membumikan Tri Dharma akan bisa mempercepat agenda besar pemerintah dalam memberantas korupsi. Kegagalan pemerintahan Orde Lama dalam misi pemberantasan korupsi, sesungguhnya disebabkan pengejewantahan misi yang hanya bersifat sepihak dan tidak melibatkan kelas sosial lainnya12 .

Suekarno memang telah mengeluarkan Perpu No. 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan Penuntutan dan pemeriksaan Tipikor. Namun dia tidak pernah memberi ruang pada kekuatan bangsa yang lain untuk mengambil ibrah dari misi pemberantasan korupsi. Begitu pula dengan pemerintahan Gus Dur dan bahkan duet SBY—Kalla saat ini.

Karena itu paling tidak civitas akademika lebih bisa bermain untuk membumikan Tri Dharma Perguruan Tinggi pada makna pemberantasan korupsi. Sebagaimana yang saya singgung di awal, kurikulum berbasis kompetensi sesungguhnya telah memberikan keleluasaan pada lembaga pendidikan yang bersangkutan untuk mewarnainya. Apalagi jika ratusan juta dana penelitian yang ada di Dirjen Pendidikan Tinggi (dikti) di arahkan pada misi pemberantasan korupsi tentu akan lebih mempercepat cita-cita bangsa terbebas dari korupsi.

Langkah dua sisi semacam ini dapat digolongkan sebagai cara luar biasa yang juga pernah dilakukan Hongkong selama 20 tahun pasca pencanangan pemberantasan terhadap korupsi. Perburuan terhadap Al Capone di Chicago 1930-an13 , yang sudah menguasai kepolisian kota itu tidak akan berhasil, jika Elliot Ness dkk. tidak menggunakan cara-cara yang luar biasa yang acapkali menabrak cara-cara konvensional.

  Anti Korupsi Progresif

Tri Dharma Perguruan Tinggi Anti Korupsi pada gilirannya akan mampu menciptakan kolaborasi antar disiplin ilmu yang ada untuk bersama-sama menyatakan perang terhadap korupsi. Beberapa fakultas yang ada di perguruan tinggi masing-masing akan saling melengkapi sehingga analisa-analisa yang dibangun akan semakin tajam.

Seperti korupsi di Dinas Pertanian menjadi sulit untuk dibongkar bila Fakultas Pertanian tidak dilibatkan dalam proses analisis data. Dengan cara ini kewajiban pemberantasan korupsi tidak lagi dibebankan pada Fakultas Hukum sebagaimana yang selama ini terjadi.

Kolaborasi langkah semacam ini sesungguhnya pernah disarankan Nonet dan Selznik (1978) bahwa untuk mengatasi problem Amerika di era 70-an diperlukan sintesis antara jurisprudence dan social sciences14 . Cara ini secara akumulatif dikenal dengan istilah ‘hukum progresif’, yaitu, sebuah tatanan hukum yang membebaskan-dimana ornament hukum benar-benar diperuntukkan bagi manusia. Sehingga jika terjadi hambatan pada pencapaiannya mampu dilakukan Pembebasan-pembebasan.

Jika hal ini bisa dilakukan maka perguruan tinggi tidak lagi terjebak dalam karakter rule bound yaitu sebuah metode yang acapkali menggarap hukum semata-mata dengan “rule and logic”. Atau dalam istilah hukum dikenal dengan istilah “rechtsdogmatiek” yang mensyaratkan analisis hukum tidak boleh keluar dari hukum Undang-undang yang ada (in het kader van de wet).

Model rule bound di atas menjadi sulit untuk diterapkan dalam rangka menghadapi persoalan-persoalan sosial baru termasuk keadaan luar biasa dalam perkembangan korupsi. Sebab rule bound tidak saja analisisnya literal, akan tetapi metode ini juga bersikap sangat tunduk (submissive) terhadap hukum dan Undang-undang. Karena itu jika perguruan tinggi masih memiliki target dalam pemberantasan korupsi, maka lembaga ini harus keluar dari alur berfikir yang linier, masinal, dan deterministik seperti rule bound.

Metode yang harus digunakan perguruan tinggi adalah rule breaking yaitu sebuah metode yang menolak model-model yang acap kali digunakan dalam rule bound. Metode yang melompat dari alur hukum konvensional semacam ini sesungguhnya dibenarkan dalam disiplin ilmu hukum. Itu misalnya terjadi pada tanggal 31 Januari 1919, saat Hooge Raad (MA) Belanda membuat putusan revolusioner tentang makna onrectmatig (melawan hukum) dalam onrechtmatige daa15 (perbuatan melawan hukum).

Metode rule breaking yang menyandarkan diri pada ornament man-based solution (bukan seperti rule bound yang bersandar pada rule-based solution) akan berdampak positif pada komitmen perguruan tinggi dalam memberantas korupsi. Sebab, cara ini hanya bersandar pada manusia (man-based solution) yang menjadi simbol dari kebebasan dan keberanian untuk mencari jalan alternatif. Hukum boleh tidak berubah, tetapi cara manusia dalam menggunakan hukum itulah yang harus berubah. Mengikuti propopsisi Karl Renner “the development of the law gradually work out what is socially reasonable”16

Pada saat yang demikian proses pembumian Tri Dharma Perguruan Tinggi akan sampai pada titik kesejatiannya. Bahwa mutatismutandis, cara kita berhukum memberantas korupsi tidak semata-mata ditentukan oleh prosedur hukum dan Undang-undang, melainkan juga oleh pertimbangan social reasonableness.

Penulis ingin lebih mempertegas, bahwa pembebasan dan mencari alternatif harus bermakna menolak berhukum yang mempertahankan status quo17 . Yaitu, tidak berhukum secara protagonis bersama-sama dan di pihak rakyat.

Menghadapi stagnasi dalam pemberantasan korupsi dewasa ini, hukum progresif cenderung untuk mengusulkan kehadiran manusia-manusia yang partisan anti korupsi. Manusia-manusia partisan anti korupsi ini memiliki predisposisi kuat unuk melawan korupsi, sehingga mereka akan membaca hukum dan fakta yang sama secara berbeda dari pada manusia-manusia yang tanpa predisposisi itu. Pada titik ini peran profetik perguruan tinggi untuk bisa menjustifikasi secara aktif usaha-usaha pemberantasan korupsi sangat menentukan. Predisposisi itu bisa dirinci sebagai hakim, jaksa, advokat yang memiliki empati, determinasi, komitmen dan keberanian (dare) melawan korupsi.

Mengajukan gagasan manusia partisan harus juga dimaknai sebagai bentuk perlawanan dan penolakan terhadap konstruk hukum liberal. Faktor pembebasan terletak pada perlawanan tersebut. Hukum liberal yang masih mendominasi kultur berhukum kita tentu tidak akan menyetujui pikiran partisan tersebut.

Dalam kultur liberal, hukum tidak boleh berpihak sehingga harus netral. Sebagai turunan jargon tersebut, institusi, aturan, dan prosedur hukum telah dirancang untuk meneguhkan ornament netralitas itu18 . Oleh karenanya campur tangan sekecil apapun adalah suatu anomali. Karena itu semboyan di abad XIX adalah “laissez fairer, laissez aller”19. Dengan konstruksi semacam itu maka hakim, jaksa, dan advokad dirancang untuk saling berhadapan—dalam posisisi seolah ingin saling menerkam. Dengan rancangan semacam itu maka individu dan kemerdekaannya akan bisa diselamatkan.

Hukum progresif menolak model semacam itu, oleh karena ia tidak membantu bangsa ini memerangi korupsi. Dalam lintas benak saya, ada banyak koruptor yang lolos dari jeratan hukum disebabkan oleh konstruksi liberal tersebut. Jadi penolakan terhadap hukum liberal tidak saja didasarkan suka atau tidak suka, akan tetapi juga bersandar pada realitas empirik.

Hukum progresif ingin menyarankan penegakkan hukum secara kolektif20. Walaupun gagasan ini terkesan masih kasar, namun ide ini berintikan pembangunan suatu sistem hukum yang didasari semangat kolektifitas. Tatakala menghadapi kasus korupsi, para jaksa, hakim, dan advokad tidak lagi saling berhadapan, akan tetapi bersatu padu dalam membongkar selubung konspirasinya.

Kemunculan ide hukum progresif ini sesungguhnya dipicu oleh kenyataan bahwa Fakultas-fakultas Hukum yang ada di Indonesia belum mampu memberikan pendidikan yang kondusif sistemik bagi pemberantasan korupsi.

Disamping faktor paradigma hukum yang masih liberal mainded sebagaimana saya jelaskan di atas yang berakibat pada pengkultusan liberalisme sebagai satu-satunya kiblat hukum tanpa mempunyai keberanian untuk merubahnya—berdampak pada kedirian kita sebagai bangsa sehingga teralenasi dari budaya dan tradisi kebangsaan. Realitas ini sangat jauh berbeda dengan Jepang sebagai suatu bangsa yang memiliki banyak kesamaan nilai dengan Indonesia.

Jepang relatif berhasil membangun suatu sistem yang didasarkan pada tradisi dan budayanya. Sungguhpun mereka pernah mengalami inconveniecy dengan menerima dan menggunakan hukum modern yang nota bene Barat sentris, akan tetapi Jepang dengan Japanese Twist-nya21 mampu membengkokkan hukum modern sehingga relevan dengan budaya setempat.

Dalam konteks semacam ini pernyataan Gerry Spence layak dipikirkan, bahwa, pendidikan hukum seharusnya membangun manusia-manusia secara utuh atau manusia paripurna (meminjam istilah Daud Alattas) terlebih dahulu, sebelum menjadi manusia-manusia hukum22 (legal professionals).

Ideologi Anti Korupsi

Harapan Friere dan Teten paling tidak bisa jadi langkah awal untuk mengkonstruk ideologi anti korupsi, sehingga gerakan pemberantasan korupsi tidak sekedar menjadi gerakan yang sporadik dan temporal yang pada akhirnya terjebak dalam karakter whistle blower yang insidental atau kasuistik. Pada wilayah ini urgensitas peran profetik pembumian Tri Dharma akan semakin nampak.

Takdir pemberantasan korupsi mungkin tidak terlalu beda dengan demokrasi. Dalam kaitan ini dapat dikatakan, bahwa demokratisasi tidak begitu saja diterima sebagai isu global, tanpa sebelumnya dilakukan gerakan institusionalisasi demokrasi. Pembumian isu demokrasi tanpa disadari justru berawal dari civitas akademika dalam bentuk seminar, lokakarya, diskusi, pelatihan, hingga pada pengkonstrukan kurikulum berbasis demokrasi. Walaupun di satu sisi para akademisi itu menyadari bahwa demokrasi merupakan sistem ‘terjelek’ ketiga setelah ‘teokrasi’ dan ‘monarchi’. Akan tetapi di sisi lain demokrasi—laksana anak jaddah—yang kelahirannya tidak diinginkan akan tetapi kehadirannya tidak dapat ditolak23 .

Institusionalisasi anti korupsi paling tidak seirama dengan kampanye demokrasi. Melalui pembumian Tri Dharma anti korupsi, institusionalisasi tersebut akan mengarah pada ideologisasi secara cepat.

Korupsi di Indonesia sudah sedemikian sistemik, bahkan telah mengarah pada vampir state sebab hampir semua infra dan supra struktur politik dan sistem ketatanegaraan sudah terinfeksi penyakit akut itu. Sementara itu di sisi lain agenda pemberantasan korupsi identik dengan character assasination (penghancuran karakter) bagi elit politik yang terindikasi korupsi dibanding pada proses hukum yang fair dan adil. Di sinilah peran pembumian Tri Dharma semakin diperlukan.

Bervariasinya model korupsi pada saat-saat tertentu semakin menjustifikasi pentingnya pembumian Tri Dharma. Bahwa agenda besar pemberantasan korupsi tidak mungkin dibebankan ke segelintir lembaga yang tidak mempunyai kemampuan maksimal baik mental maupun material.

Merujuk pada varian praktek korupsi, salah seorang hakim Mahkamah Konstitusi 24 membaginya dalam tiga kerangka besar. Pertama, ‘Mercenery abuse of power’, penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh orang yang mempunyai suatu kewenangan tertentu yang bekerjasama dengan pihak lain dengan cara sogok-menyogok, suap, mengurangi standar spesifikasi atau volume dan penggelembungan dana (mark up). Penyalahgunaan wewenang tipe seperti ini biasanya non politis dan dilakukan oleh level pejabat yang tidak terlalu tinggi kedudukannya.

Kedua , ‘Discretinery abuse of power’, pada tipe ini penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat yang mempunyai kewenangan istimewa dengan mengeluarkan kebijakan tertentu misalnya keputusan Walikota/Bupati atau berbentuk peraturan daerah/keputusan Walikota/Bupati yang biasanya menjadikan mereka dapat bekerjasama dengan kawan/kelompok (despotis) maupun dengan keluarganya (nepotis).

Ketiga , ‘Idiological abuse of power’, hal ini dilakukan oleh pejabat untuk mengejar tujuan dan kepentingan tertentu dari kelompok atau partainya. Bisa juga terjadi dukungan kelompok pada pihak tertentu untuk menduduki jabatan strategis di birokrasi/lembaga ekskutif, dimana kelak mereka akan mendapatkan kompensasi dari tindakannya itu, hal ini yang sering disebut politik balas budi yang licik. Korupsi jenis inilah yang sangat berbahaya, karena dengan praktek ini semua elemen yang mendukung telah mendapatkan kompensasi

Kompleksitas praktek korupsi sebagaimana di atas tentu akan sulit tanpa sebuah idiologisasi pemberantasan korupsi. Meminjam istilah cendikiawan Perancis Ideologisasi yang berawal dari kata ‘idio’ yang berarti cita-cita dan ‘logi’ yang berarti logika, ide, gagasan, atau konsep adalah ide tentang cita-cita.

Seorang ‘cendekiawan’ sesungguhnya hanya bertugas memikirkan kejadian-kejadian. Seorang ‘filosof’ mempunyai tugas merenungkan kenapa itu terjadi. Maka seorang ‘ideolog’ berkewajiban memperjuangkan kejadian-kejadian itu 25.

Karenanya pembumian Tri Dharma Perguruan Tinggi harus bermakna mencetak ideolog anti korupsi, bukan sekedar ahli hukum apalagi pengacara-pengacara korup.

Sungguhpun di satu sisi penulis menyadari bahwa ideologisasi anti korupsi tidak mungkin dituangkan secara sistemik dalam tulisan ini, akan tetapi di sisi lain paling tidak mampu memberi nuansa, bahwa pembumian Tri Dharma Perguruan Tinggi akan bisa mempercepat agenda pengkonstrukan ideologi anti korupsi. *)

 

10 Harul Halili, Kelelahan Seorang Teten Maduki, Kompas 6 September 2005

11 Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia terbitan Media Center diartikan sebagai hal atau keadaan tidak berfungsinya sesuatu secara wajar.

12 Hasrul Halili, disampaikan dalam Anti Corruption Summit bertema “Meningkatkan Peran Fakultas Hukum dalam Mendukung Pemberantasan Korupsi Melalui Pengawasan Peradilan” yang diselenggarakan oleh Badan Kerjasama Fakultas Hukum Seluruh Indonesia pada tanggal 11-13 Agustus 2005 di Balai Senat Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta.

13 Sebastian Pompe, Court Corruption in Indonesia: An Anatomy of Institutional Degradation and Strategy for Recovery, First Draft June 2002

14 Asep Rakhmat Fajar, Potret Dunia Peradilan Indonesia, Refleksi dan Proyeksi, Media Hukum dan Keadilan Teropong, Vol. II, No. 3 Desember 2002

15 Tim Justice for The Poor—The World Bank, Menciptakan Peluang Keadilan: Laporan atas Studi “Village Justice in Indonesia” dan “Terobosan dalm Penegakan Hukum dan Aspirasi Reformasi Hukum Di Tingkat Lokal”, The World Bank Jakarta 2004. Bandingkan dengan Francis Wahono, Gelombang Perlawanan Rakyat, Kasus-kasus Gerakan Sosial Di Indonesia, Insist Press, Jogjakarta, 2003

16 Satjipto Rahardjo, Pokok-pokok Pikiran Memberantas Korupsi Secara Progresif, dalam Anti Corruption Summit yang diselenggarakan oleh Badan Kerjasama Fakultas Hukum Seluruh Indonesia pada tanggal 11-13 Agustus 2005 di Balai Senat Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta

17 Adji, Indriyanto Seno, Korupsi dan hukum pidana , Kantor pengacara dan konsultasi hukum, Jakarta, 2001

18 Klitgart, Robert, Membasmi korupsi, Yayasan obor Indonesia, Jakarta , 2001.

19 Marx Skousen, Sang Maistro: Sejarah dan Teori Ekonomi Modern, Prenada Press, Jakarta, 2005

20 Reksodiputro, Mardjono, Korupsi dalam sistem hukum di Indonesia, makalah pada anti-corruption diagnostic research papers workshop oleh partnership for governance reform in Indonesia, Jakarta, 2001

21 Soenaryadi, Amien, Strategi pemberantasan korupsi nasional, BPKP, Jakarta, 1999

22 Komite Pengacara Amerika untuk Hak Asasi Manusia, Hukum Dilanggar Badan Terkapar (Wajah Keadilan di Masa Merdeka ), terjemahan, 1995.

23 Lukman Hakim, 2003, Revolusi Sistemik: Solusi Stagnasi Reformasi Dalam Bingkai Sosialisme Religius, Kreasi Wacana, Jogjakarta.

24 Mukti Fajar, Korupsi Di Daerah, Intrans, Malang, 2005

25 Lukman Hakim, 2003, Revolusi Sistemik……….Op.cit

 

Reference

Adji, Indriyanto Seno, Korupsi dan hukum pidana , Kantor pengacara _____ dan konsultasi hukum, Jakarta, 2001

Asep Rakhmat Fajar, Potret Dunia Peradilan Indonesia, Refleksi dan _____Proyeksi, Media Hukum dan Keadilan Teropong, Vol. II, No. 3 _____Desember 2002

Hasrul Halili, Kelelahan Seorang Teten Maduki, Kompas 6 September _____2005

Francis Wahono, Gelombang Perlawanan Rakyat, Kasus-kasus Gerakan _____Sosial Di Indonesia, Insist Press, Jogjakarta, 2003

Hasrul Halili, disampaikan dalam Anti Corruption Summit bertema _____“Meningkatkan Peran Fakultas Hukum dalam Mendudkung _____Pemberantasan Korupsi Melalui Pengawasan Peradilan” yang _____diselenggarakan oleh Badan Kerjasama Fakultas Hukum _____Seluruh Indonesia pada tanggal 11-13 Agustus 2005 di Balai _____Senat Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta.

Klitgart, Robert, Membasmi korupsi, Yayasan obor Indonesia, Jakarta , _____ 2001.

Komite Pengacara Amerika untuk Hak Asasi Manusia, Hukum _____Dilanggar Badan Terkapar (Wajah Keadilan di Masa Merdeka ), _____terjemahan, 1995.

Lukman Hakim, 2003, Revolusi Sistemik: Solusi Stagnasi Reformasi _____Dalam Bingkai Sosialisme Religius, Kreasi Wacana, Jogjakarta.

Marx Skousen, Sang Maistro: Sejarah dan Teori Ekonomi Modern, _____Prenada Press, Jakarta, 2005

Mukti Fajar, Korupsi Di Daerah, Intrans, Malang, 2005

Reksodiputro, Mardjono, Korupsi dalam sistem hukum di Indonesia, _____ makalah pada anti-corruption diagnostic research papers workshop _____ oleh partnership for governance reform in Indonesia, Jakarta, _____ 2001

Sebastian Pompe, Court Corruption in Indonesia: An Anatomy of _____Institutional Degradation and Strategy for Recovery, First Draft ­­­­_____June 2002

Satjipto Rahardjo, Pokok-pokok Pikiran Memberantas Korupsi Secara _____Progresif, dalam Anti Corruption Summit yang diselenggarakan _____oleh Badan Kerjasama Fakultas Hukum Seluruh Indonesia _____pada tanggal 11-13 Agustus 2005 di Balai Senat Universitas _____Gajah Mada (UGM) Jogjakarta

Soenaryadi, Amien, Strategi pemberantasan korupsi nasional, BPKP, _____ Jakarta, 1999

Tim Justice for The Poor—The World Bank, Menciptakan Peluang _____Keadilan: Laporan atas Studi “Village Justice in Indonesia” dan _____“Terobosan dalm Penegakan Hukum dan Aspirasi Reformasi Hukum _____Di Tingkat Lokal”, The World Bank Jakarta 2004.

 

 

 Back To Daftar Isi

KORUPSI DI SEKOLAH PETAKA KEMANUSIAAN

Oleh. Musaheri

Max Weber, peletak dasar metodologi ilmu sosial, mengatakan bahwa pelaku korupsi bisa ditinjau dari berbagai perspektif. Menurut perspektif keadilan, korupsi adalah mengambil bagian yang bukan haknya. Korupsi dari perspektif hukum adalah mengambil secara tidak sah keuangan atau barang milik publik untuk kepentingan memperkaya diri. Dari perspektif psikologi, korupsi adalah tingkah laku menyimpang dari tugas-tugas resmi suatu jabatan secara sengaja untuk memperoleh keuntungan berupa status, kedudukan, kekayaan atau uang untuk perorangan, keluarga dekat atau kolompok sendiri. Korupsi dari perspektif relatifisme kultural adalah pemaksaan untuk menyeragamkan budaya dan atau memaksakan budaya oleh dominasi penguasa. Perspektif orang awam dengan lugas mengatakan, bahwa menggelapkan uang kantor, menyalahgunakan wewenang untuk menerima suap, menikmati gaji buta tanpa kerja secara serius dan profesional adalah tindakan korupsi ( Rozi, 2006 )

Dalam konteks pendidikan persekolahan dengan mengacu pada pandangan Weber, korupsi di sekolah, adalah mengambil hak publik yang semestinya memperoleh layanan pendidikan bermutu dari sekolah, tapi disimpangkan oleh tenaga pendidikan yang ada di sekolah dengan tujuan memperkaya diri dan atau mengambil hak tenaga kependidikan dan peserta didik yang dirampas dan atau di kesampingkan, baik oleh tenaga kependidikan di luar sekolah (kepala dinas, kepala bidang, kepala seksi, kepala UPTD pendidikan kecamatan, dan pengawas sekolah) ; tenaga kependidikan di dalam sekolah sendiri (kepala sekolah dan guru), maupun oleh non-tenaga pendidikan di luar sekolah (pejabat pemerintah yang terkait dengan pendidikan) guna mendapatkan keuntungan berupa budaya, status, kedudukan, kekayaan atau uang untuk memperkaya perorangan, keluarga dekat atau golongan sendiri.

Paling dahsyat sebagai petaka kemanusiaan adalah korupsi yang dilakukan tenaga kependidikan yang ada di sekolah yang berefek langsung terhadap kinerja sekolah merupakan tonggak awal rusaknya pengelolaan sendi-sendi kemanusian. Guru koruptif yang berdampak serius terhadap perkembangan peserta didik. Kedua dengan modus operandi melakukan korupsi pembelajaran dan pengelolaan pendidikan di sekolah tersebut merupakan korupsi kemanusiaan sejati dan keberadaannya perlu mendapat perhatian serius jika sekolah berkualitas menjadi target pencapaian tujuan pendidikan.

 Korupsi Pembelajaran

Korupsi pembelajaran adalah korupsi yang dilakukan guru dalam interaksi pembelajaran. Korupsi ini tidak kentara, tapi sangat berbahaya dalam jangka panjang, karena terkait dengan penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan kehidupan, dan pembentukan karakter peserta didik. Praksis pembelajaran yang bernuansa korupsi dimulai dari interaksi pembelajaran yang menelikung hak-hak peserta didik sampai pada bentuk pengatrolan nilai untuk meluluskan peserta didiknya. Sentuhan yang tidak benar dalam proses pembelajaran dengan merampas hak, kedudukan, dan martabat peserta didik merupakan petaka terdalam kemanusiaan melalui proses pendidikan persekolahan.

Bentuk-bentuk korupsi pembelajaran tersebut ditandai dengan menempatkan peserta didik sebagai obyek, dan sasaran pembelajaran serta memperlakukan peserta didik secara seragam dengan penanganan diskriminasi. Peserta didik diposisikan sebagai pelaksana semata dari guru, menerima perintah, melaksanakan keputusan guru, serta keberadaannya di bawah guru dan bergantung pada guru. Pembelajaran berasal dari guru untuk peserta didik, sehingga yang semakin kompeten adalah gurunya dan peserta didik terus berada dalam bayang-bayang guru. Akibatnya inisiatif dan kreativitas peserta didik tidak segera muncul. Guru juga menganggap keberadaan peserta didiknya sama dan memperlakukan peserta didiknya dengan seragam tanpa mempempertimbangkan keunikan, kemampuan, potensi, hak-hak dan talenta-talenta peserta didik, serta semakin runyam dengan adanya penanganan diskriminasi berdasarkan pertimbangan jenis kelamin, keyakinan, dan strata ekonomi peserta didik.

Kurang mendorong peserta didik untuk tahu dan paham terhadap dirinya sendiri dan orang lain serta mendominasikan pengembangan intelektual dan meminimkan pengembangan kecerdasan emosi. Peserta didik jarang diajak untuk menelaah, mengkaji dan memahami keadaan diri peserta didik sendiri. Penonjolannya lebih dominan pada pembelajaran materi semata, sehingga peserta didik lebih paham pada diri orang lain, serta sulit memahami kekurangan dirinya dan mengakui kelebihan orang lain. Selain itu, guru lebih banyak mengembangkan pengetahuan peserta didik melalui teori-teori pengetahuan daripada mengembangkan emosi peserta didiknya. Sebagai akibatnya banyak peserta didik yang pandai dan cerdas, tapi sulit membedakan yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang salah serta sangat gersang kelembutan, kedisiplinan, ketekunan, motivasi diri, kemauan dan kerja keras sebagai refleksi pekerjaan hati.

Dalam melakukan pembelajaran diutamakan hasil yang tinggi dari pada proses yang sehat untuk peserta didik dan hanya memenuhi kebutuhan guru. Pemikiran yang banyak mengintai pada guru yang koruptif adalah hasil belajar peserta didik dengan nilai angka tinggi. Semakin runyam karena ukuran evaluasi yang digunakanpun lebih bersifat kuantitatif dengan pengetahuan tingkat rendah. Hasil pembelajaran adalah segala-galanya, sehingga kelulusan menjadi target utama yang harus dicapai dengan mengatrol nilai peserta didik. Sementara, kualitas proses diabaikan. Padahal, kualitas hasil sangat bergantung pada kualitas proses. Selain itu, pembelajaran yang dilakukan guru lebih dominan untuk memenuhi kebutuhan guru. Guru lebih banyak memusatkan perhatiannya pada kebutuhan-kebutuhan dan perasaan-perasaan serta keinginan-keinginan dirinya, dengan tidak berpijak pada realitas kebutuhan peserta didik.

Pembelajaran yang diberikan oleh guru hanya untuk menerima, menyerap dan menguasai pengetahuan serta masalah peserta didik dipikirkan kemudian. Peserta didik dalam proses pembelajaran hanya berkutat pada tataran menerima, menyerap dan menguasai. Guru koruptif hanya mentransformasikan pengetahuan, sehingga banyaknya pengetahuan yang dimiliki dan dikuasai peserta didik hanya berdasarkan pada yang diterimanya, tidak membangun budaya membaca dan menulis, sehingga sulit mengikuti perkembangan dan kemajuan teknologi atas dasar kreasinya sendiri. Sebagai akibat berikutnya, ilmu pengetahuan yang dimiliki peserta didik tidak dapat memecahkan masalah yang dihadapinya, serta masalah yang dialami dan membelenggu peserta didik seringkali muncul kemudian, dan terus berakumulasi dengan munculnya masalah-masalah baru secara beruntun. Masalah yang berkaitan dengan pendidikan, belajar, penggunaan waktu luang, pekerjaan, masalah sosial dan masalah yang sifatnya pribadi jarang diperkenalkan lebih awal oleh guru kepada peserta didik. Sebagai akibat dengan tidak mengantisipasi terhadap masalah yang akan muncul, maka justru tanpa disadari dalam perjalanannya, peserta didik terus bermasalah dan terus bertambah masalah.

 Korupsi Pengelolaan

Ada kecenderungan banyak kepala sekolah berpola sebagai penguasa. Dengan pola ini, kepala sekolah yang menentukan segalanya terhadap kebijakan sekolah, terutama yang berkaitan dengan pendanaan. Mulai dari rencana anggaran, penggunaan dan pertanggungjawaban anggaran. Kekuasaan kepala sekolah yang terlalu besar tidak terkontrol ini merupakan sumber utama terjadinya korupsi di sekolah-sekolah. Dengan kondisi ini, tidak heran, personel sekolah khususnya guru tidak percaya kepada kepala sekolah dan kepala sekolah tidak juga percaya dengan guru koleganya. Akibatnya, antar personel sekolah tidak lagi bersinergi, justru sering terjadi konflik dan iklim komunikasi warga sekolah terhambat, bahkan saling menjegal dan sinis terhadap kebijakan kepala sekolah.

Trend yang berkembang saat ini, kepala sekolah sebagai manajer perdagangan di sekolah. Dengan restu dan petunjuk manajer, beberapa guru di sekolah menjadi pedagang dan calo barang dan jasa untuk memenuhi aneka kebutuhan peserta didik. Setiap memasuki tahun ajaran baru, guru dipaksa dan terpaksa menjual pakaian seragam, dan buku pelajaran kepada siswa ”obyek sampingan” dengan dalih otonomi sekolah dalam rangka meningkatkan mutu peserta didik. Selain itu, guru juga memberikan tambahan pembelajaran kepada peserta didik di luar jadwal sekolah dalam bentuk les yang kadang terkesan pemaksaan serta terkadang bertindak diskriminasi bagi peserta didik yang tidak mengikuti les.

Meskipun kebijakan manajemen berbasis sekolah (MBS) telah dicanangkan pada tahun 2000 dengan tujuan menciptakan demokrasi dengan mendorong pelibatan stakeholder sekolah dan kemudian muncul dewan pendidikan pada tingkat kabupaten/kota dan komite sekolah pada tingkat sekolah yang diharapkan bisa menandai perpindahan kewenangan dalam pengelolaan pendidikan dari sekolah kepada segenap pemangku kepentingan sekolah, maka yang terjadi justru sebaliknya. Dalam kebijakan MBS yang banyak didanai lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia itu, pemerintah belum sepenuhnya memberdayakan masyarakat untuk bisa terlibat penuh dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan penyelenggaraan sekolah. Masyarakat hanya difokuskan untuk ikut berpartisipasi memberikan pendanaan kepentingan sekolah.

Hal ini tergambar dari penekanan fungsi komite sekolah selama ini yang dijadikan ujung tombak mencari dana dari orang tua peserta didik. Atas nama partisipasi, belasan pungutan dibebankan kepada msyarakat. Akibatnya, pungutan di sekolah tidak terkontrol dan semakin memberatkan orang tua siswa. Tidak mengherankan jika pada akhirnya komite sekolah menjadi masalah baru di sekolah, otonomi penyelenggaraan sekolah akhirnya hanya sampai pada otonomi pendanaan karena kebijakan sekolah masih banyak dimonopoli sekolah dengan motor penggeraknya kepala sekolah dan keberadaan komite sekolah akhirnya menjadi pelengkap penderita memberi legitimasi untuk mendapatkan tambahan dana dari masyarakat ( Irawan, 2005 ).

Pengelolaan dana bantuan dari pemerintah, khusus Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebagaimana diungkapkan Darmaningtyas (2005) untuk sekolah tidak terlepas dari kebocoran. BOS yang ditujukan untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa yang tidak mampu, dan meringankan siswa lain dalam memperoleh layanan pendidikan dasar yang lebih bermutu, ternyata penggunaannya banyak disimpangkan oleh beberapa kepala sekolah. BOS yang semestinya untuk pembiayaan seluruh kegiatan penerimaan siswa baru, pembelian buku teks, bahan habis pakai, kegiatan kesiswaan, ulangan harian, pengembangan profesi guru, perawatan sekolah, layanan daya dan jasa, pemberian honorarium guru dan tenaga kependidikan honorer, pembiayaan pengelolaan BOS, pemberian biaya transportasi untuk siswa miskin, dan bila tersisa dapat digunakan untuk membeli alat peraga, media pembelajaran dan mebeler sekolah, ternyata hanya menjadi isapan jempol yang tidak begitu berdampak terhadap pemenuhan kebutuhan peserta didik, dan justeru dikorup oleh keserakahan sebagian kepala sekolah.

Kebocoran juga terjadi di banyak tingkatan penyelenggara pendidikan terutama yang berkaitan dengan dana-dana proyek, seperti pembangunan gedung sekolah dan pembelian peralatan atau perlengkapan. Dengan meminjam istilah Syed Hussein Alatas, korupsi di sektor pendidikan, khususnya pada kesatuan pendidikan sudah memasuki studium tiga, yaitu korupsi telah memakan diri sendiri. Roda birokrasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah, khususnya bisa berjalan jika ada suap diantara sesama birokrasi penentu kebijakan. Dalam pembangunan gedung sekolah misalnya, sogokan menjadi syarat utama untuk mendapatkan proyek atau mencairkan dana.

Penyebab utama terjadinya korupsi pengelolaan, termasuk pada bidang pendidikan adalah rendahnya profesionalisme birokrasi pendidikan, khususnya kepala sekolah, kebijakan sekolah yang tidak transparan, pengekangan terhadap kontrol sekolah, tidak adanya manajemen partisipatif, berkembang suburnya ideologi konsumtif dan hedonistik serta belum adanya code of conduct yang kuat disertai sanksi tegas dan adil untuk sekolah sebagai penyelenggaraan pendidikan (Widodo, 2001).

Menuju Sekolah Bebas Korupsi

Menghilangkan korupsi bukanlah perkara yang sangat gampang karena telah berurat berakar dan menjalar kemana-mana. Virus mematikan ini dianggap lumrah, banyak orang menganggap sebagai sesuatu yang biasa. Profesor Toshiko Kinosita (2002) mengemukakan, bahwa masyarakat Indonesia mulai dari yang awam hingga politisi dan umumnya pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang. Perilaku rakus luar biasa ini mewujud dalam tindakan korupsi yang amat tega. Ketegaan tak berprikemanusiaan itu tampak amat nyata, ketika korupsi dilakukan dengan menyantap uang hak warga miskin yang justeru dimotori banyak pemimpin di institusi pendidikan (William Chang, 2006).

Dengan situasi dan kondisi semacam itu, maka menuju sekolah yang bebas korupsi adalah dengan memberantas korupsi pengelolaan di sekolah. Langkah utamanya terletak pada pematangan karakter kepala sekolah sebagai pemimpin, administrator dan supervisor sekolah, dan penanggulangannya harus pula melibatkan penuh kepala sekolah dengan melakukan pembinaan mental dan profesionalisme kepala sekolah sendiri pada satu sisi dan penataan sistem pengelolaan sekolah pada sisi yang lain.

Upaya dalam menata pengelolaan sekolah pada konteks makro, sekolah harus dikelola secara transparan dan akuntabel.Semua program sekolah dan pendanaan (sumber, distribusi, dan pertanggungjawaban) sekolah dilakukan secara terbuka. Program-program yang dimunculkan di sekolah diawali dengan analisis kebutuhan masyarakat, melibatkan segenap pemangku kepentingan, dirancang menjadi program, diajukan ke komite sekolah untuk mendapatkan masukan, baru diputuskan menjadi program sekolah beserta pembiayaannya melalui RAPBS.

Dalam konteks ini, sebaiknya sekolah memiliki sistem komunikasi dengan orang tua, masyarakat, dan komite sekolah dalam hal program dan pertanggungjawaban keuangannya. Jika dimungkinkan, sekolah dapat membuka website khusus sebagai sarana komunikasi dengan stakeholder-nya. Dengan upaya ini, pertanggungjawaban balik sekolah kepada masyarakat (akuntabilitas) dapat dengan mudah dilakukan. Masyarakat dalam konteks ini pula dapat mempertanyakan penggunaan uang yang disumbangkan kepada sekolah (Sutedjo, 2002)

Komite sekolah harus direvitalisasi. Komite sekolah harus dapat dioptimalkan sebagai pengontrol sekolah. Sebab, hakikatnya komite sekolah merupakan organisasi pendamping dalam mendorong peran serta masyarakat dalam pengembangan pendidikan. Disinilah pentingnya memberdayakan peran dan fungsi komite sekolah sebagaimana lampiran keputusan Mendiknas Nomor 004/U/2002 Tanggal 2 April 2002 sebagai pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan ; pemberi dukungan (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan, pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan, dan sebagai mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan.

Keterlibatan pemangku kepentingan melalui komite sekolah untuk mengontrol pengelolaan sekolah terutama yang berkaitan dengan dana yang ada di sekolah sangat diperlukan. Menurut Darmaningtyas (2005), pemberantasan korupsi dalam dunia pendidikan hanya bisa dilakukan apabila ada kesadaran dari masyarakat, khususnya orang tua murid sebagai konsumen pendidikan serta didukung penuh oleh segenap stakholder sekolah. Reformasi dalam pengelolaan sekolah, khususnya yang berkaitan dengan anggaran pendidikan persekolahan tidak bisa dilakukan dari dalam sekolah, tetapi harus dari komunitas dan orang tua murid yang menyadari hak-haknya atas pendidikan.

Otonomi sekolah melalui model MBS diselenggarakan secara sungguh-sungguh. Otonomi sekolah yang benar menurut Koesoema (2006) tidak sekedar dipahami dari kacamata ekonomis yang menjadikan orang tua dalam relasinya dengan lembaga pendidikan, sekedar sebagai obyek penarikan dana, tetapi melibatkan dimensi partisipatif (kesinambungan pendampingan orang tua pada anak didik pasca sekolah), komunikatif (sistem kontrol dan propositif atas transparansi keuangan dan perencanaan program sekolah), dan konsiliatif (keterbukaan untuk menerima masukan dari masyarakat berkaitan dengan program pendidikan yang ditawarkan). Menurut Saud dalam Mulyasa (2005), model karakteristik dasar MBS adalah adanya pemberian otonomi yang luas terhadap sekolah, partisipasi masyarakat dan orang tua peserta didik yang tinggi, kepemimpinan sekolah yang demokratis dan profesional serta adanya team work yang tinggi dan profesional.

Sekolah yang memiliki otonomi, jika dipahami melalui kacamata seperti ini, akan menjadi pembaru dalam arti yang sebenarnya, dan menghilangkan tiga jenis penyakit pendidikan yang muncul dalam konteks sekolah terpusat (sentralistis), seperti infesiensi (buang banyak uang dan tidak produktif), kemandulan produksi (dalam arti menjadi mesin yang memproduksi kekosongan, menghasilkan pemahaman pengetahuan yang tidak mendalam, pemborosan otak anak didik), serta anti demokrasi (tidak adanya kesempatan menerima pendidikan yang sama, drop out karena miskin, konsep tentang anak didik yang abstrak dan jauh dari lingkungan).

Perda pembiayaan pendidikan dan lembaga independen semacam education wacth di daerah dipandang perlu untuk diadakan. Perda pembiayaan pendidikan sebagai keputusan politik wakil rakyat dibutuhkan, agar ada payung hukum yang jelas dalam pengaturan pembiayaan pendidikan persekolahan, serta perlu didukung lembaga semacam education watch di daerah. Lembaga ini secara khusus diberi tugas untuk melakukan kontrol mandiri, termasuk kewenangan melakukan audit terhadap keuangan lembaga sekolah di satu sisi dan melakukan advokasi kepada masyarakat yang membutuhkannya. Lembaga ini menjadi lembaga yang independen, yang terlepas dari berbagai kepentingan pihak-pihak tertentu. Fokus utamanya, tentu advokasi kepada masyarakat, baik itu masyarakat sekolah maupun masyarakat yang secara finansial terkait langsung dengan sekolah. Dengan advokasi ini diharapkan tumbuh kesadaran dari berbagai pihak untuk ikut mengawal terbebasnya institusi sekolah itu agar bersih dari korupsi. Disinilah dibutuhkan masyarakat yang kuat, cerdas, dan berani menuntut hak-haknya atas lembaga pendidikan yang tidak memberikan layanan selayaknya, mengindikasikan tanda-tanda koruptif (Sutedjo, 2002)

Rekruitmen, orientasi, penempatan, pembinaan, dan periodisasi kepala sekolah perlu dimantapkan. Rekruitmen kepala sekolah harus memenuhi kualifikasi akademik dengan empat spektrum kompetensi sesuai dengan standar ketenagaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor : 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Seorang guru yang direkrut menjadi kepala sekolah harus benar-benar guru terbaik, ditindaklanjuti dengan sistem orientasi yang tepat, penempatan dan pembinaan yang profesional, agar lahir kepala sekolah yang tidak koruptif dan dalam menjalankan penanganan serius sebagaimana di atas dalam Keputusan Menteri (kepmen) Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0296/U/1996 tentang Tugas Tambahan Guru sebagai Kepala Sekolah dan diperkuat dengan Peraturan Bupati Sumenep Nomor : 19 Tahun 2005 tentang tugas Tambahan Guru sebagai kepala Sekolah.

Dengan adanya periodisasi, menurut St. Kartono (2002), kepala sekolah bukanlah sosok yang mempunyai kekuasaan tanpa batas ; memungkinkan kinerja dan gaya kepemimpinan ideal akan terbentuk, karena akan berhati-hati dalam menjalankan kepemimpinannya ; menghindarkan kemandekan untuk berkreasi, dan seandainya terjadi korupsi tidak akan berlarut-larut. Pembatasan masa jabatan kepala sekolah dalam bentuk periodisasi dapat memperbaiki pengelolaan sekolah daripada membiarkan kepala sekolah sekedar terminal terakhir sebagai hadiah sebelum seorang guru memasuki masa pensiun, plus kesempatan mencicipi korupsi. Lamanya memegang jabatan kepala sekolah tanpa pembatasan akan sangat rentan untuk penyalahgunaan wewenang, dan bisa jadi melakukan korupsi dianggap biasa.

Menuju sekolah bebas korupsi juga harus ditempuh dengan menghilangkan korupsi pembelajaran. Menghilangkan korupsi pembelajaran, kunci besarnya terletak pada guru. Upaya yang harus dilakukan adalah menempa mental guru dengan merubah paradigma guru dalam melakukan pembelajaran. Paradigma baru pembelajaran itu adalah menempatkan peserta didik sebagai subyek, dan tumpuan serta memperlakukan peserta didik secara beragam dengan penanganan demokratis dalam pembelajaran. Peserta didik sebagai pusat kegiatan, pelaku kegiatan, merefleksi diri dengan aktivitas bermakna, memberi kesempatan dan kebebasan mengambil keputusan, melakukan kerja sama kemitraan dengan sesama peserta didik dan guru, dan pembelajaran. Menghargai dan menghormati masing-masing pribadi peserta didik berdasarkan keunikan, kemampuan dan potensi belajar, hak-hak dan aturan main hidup, talenta-talenta peserta didik, sehingga dalam pemberlakuan terhadap mereka beragam. Akan tetapi, nilai demokrasi tetap ditegakkan dan dijunjung tinggi, sehingga penanganan terhadap peserta didik tidak akan ada diskriminasi.

Mendorong peserta didik untuk tahu dan paham terhadap dirinya sendiri dan orang lain serta menyeimbangkan pengembangan intelektual dan emosional peserta didik dengan menempatkan kecerdasan emosi yang utama. Peserta didik diberi kesempatan menelaah dirinya agar dapat mengetahui dan menerima apa adanya terhadap dirinya sendiri melalui proses pembelajaran. Potensi dirinya disyukuri, dikembangkan dan dimanfaatkan secara positif, kekurangannya disadari dan terus dilakukan perbaikan diri, memberi kesempatan kepada pihak lain untuk menilai dirinya serta mau bercermin pada kesuksesan orang lain untuk ditiru serta mau dan menghargai orang lain atas kelebihan dan kekurangannya. Guru mengembangkan pengetahuan peserta didik untuk terus tahu melalui kegiatan membaca dan menulis, mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni sesuai dengan konteks kehidupan dan penghidupan peserta didik, serta dapat melakukan sesuatu berdasarkan pengetahuannya dan tidak buta kebenaran dengan dilandasi nila-nilai spritual dan sosial menuju kematangan.

Mengutamakan proses perlakuan dan penanganan yang sehat daripada hasil yang tinggi bagi peserta didik serta memenuhi kebutuhan peserta didik. Penanganan dan perlakuan pada peserta didik berproses secara sehat dalam suasana saling menerima, menghargai, akrab, menyenangkan, terbuka, dan hangat. Melalui interaksi pembelajaran, peserta didik terinspirasi, termotivasi, tertantang, terberdayakan, dan tersedia ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan karakteristik peserta didik, melalui persiapan guru secara matang, interaksi yang bermakna, penilaian yang tepat, pengayaan dan perbaikan yang benar, dan pembaharuan secara terus menerus serta peserta didik mendapat pelayanan yang bersifat perbaikan, pengayaan, dan atau percepatan sesuai dengan kondisi peserta didik, dan menempatkan diri pada dunia perasaan peserta didik. Kondisi dan situasi peserta didik jauh lebih penting daripada materi pelajaran. Guru memusatkan perhatiannya pada kebutuhan-kebutuhan, keprihatinan-keprihatinan, dan perasaan-perasaan peserta didik. Guru harus dapat mewujudkan pemenuhan kebutuhan peserta didik sebagai modal dasar motivasi diri dalam mengembangkan diri.

Mengalami, menghayati, dan mereproduksi sendiri peserta didik melalui pikiran terbuka serta masalah peserta didik diantisipasi awal sebelum timbul masalah. Peserta didik didorong mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri melalui pengalaman langsung, penghayatan yang dalam dan sampai menghasilkan suatu karya cipta pengetahuan sendiri. Dengan penghayatan diri, peserta didik menjadi sumber belajar di dalam dirinya sendiri, dan mengaktualisasikan dirinya tanpa terasa takut ditentang atau ditolak oleh guru, apalagi dintimidasi. Peserta didik mengalami kemerdekaan untuk mengeksplorasi potensi-potensi diri dan mengembangkannya secara aktif disertai pikiran terbuka dan bertanggung jawab melalui multi metode guru. Jenis permasalahan yang berkaitan dengan peserta didik diperkenalkan lebih awal, dan diberitahukan jalan keluar yang semestinya dilakukan peserta didik. Dengan demikian, peserta didik memiliki arah dan langkah yang tepat dalam menyikapi masalah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi serta terampil memecahkan persoalan yang dihadapi. Karena itu, keterampilan pribadi, sosial, akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan untuk dikenalkan lebih awal kepada peserta didik agar dapat mengantisipasi masalah.

Paling krusial dalam mengembangkan peserta didik agar tidak menjadi insan yang korup di kemudian hari, maka perlunya mengembangkan diri melalui spirit dan nilai-nilai kejujuran peserta didik. Kejujuran merupakan sifat mulia yang tidak ternilai harganya. Oleh karena itu, spirit dan nilai-nilai kejujuran perlu ditanamkan melalui proses pematangan budaya kepada peserta didik. Ada berbagai cara dalam menumbuhkembangkan kejujuran pada peserta didik. Menyadarkan peserta didik tentang pentingnya sebuah kejujuran merupakan langkah terpenting. Mereka harus disadarkan bahwa berkata atau berbuat tidak jujur akan membuat orang lain tidak percaya selama-lamanya. Bilamana perlu, sekolah mengadakan berbagai kegiatan siraman rohani dengan topik khusus tentang kejujuran. Untuk menanamkan nilai kejujuran juga dengan membiasakan peserta didik mengoreksi dan memberikan nilai terhadap hasil karyanya sendiri. Mereka dibiasakan menilai diri sendiri secara obyektif. Sangat penting juga dalam menanamkan nilai kejujuran adalah kejujuran siswa harus dihargai, diapresiasi oleh kepala sekolah dan guru.

Spirit keterbukaan peserta didik juga harus ditanamkan melalui pembudayaan. Seorang peserta didik akan memiliki keterbukaan bilamana mampu menyadari secara rasional terhadap kelemahan dirinya selaku makhluk manusia yang lemah dan membutuhkan keberadaan orang lain untuk keberlangsungan dan perkembangan dirinya. Langkah pertama dalam pematangan budaya sekolah melalui spirit dan nilai-nilai keterbukaan adalah dengan pemberian wawasan mengenai manusia sebagai makhluk sosial yang diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang lemah, dan membutuhkan orang lain. Predikat manusia sebagai makhluk yang lemah tersebut perlu disosialisasikan secara terus menerus kepada peserta didik. Di samping itu, forum-forum diskusi berbagai masalah-masalah sosial diciptakan dan melibatkan peserta didik. Guru-gurupun perlu menggunakan diskusi kelompok, diskusi kelas, dan kerja kelompok, sehingga peserta didik terbiasa menghadapi dan mengakui adanya perbedaan pendapat. Sudah barang tentu, kepala sekolah dan gurupun harus juga memberikan contoh keterbukaan terhadap peserta didik. Oleh karena itu, setiap guru harus bisa menerima pendapat peserta didik yang berbeda dengan dirinya, selalu berprasangka positif terhadap peserta didiknya. Pikiran-pikiran yang baik, walaupun berbeda dengan guru, maka guru harus tetap menghargainya.

 

Daftar Pustaka

Koesoema. Doni. 2006. ”Otonomi (Pungutan) Pendidikan”, Kompas.

Darmaningtyas.2005. Pendidikan Rusak-Rusakan. Jakarta : Penerbit Kompas

Depdiknas. 2002. Pengembngan Kultur Sekolah. Jakarta : Pendidikan Menengah Umum

Depdiknas. 2002. Panduan Bos. Jakarta : Dikdasmen

Irawan, Ade, ST. 2002. ”Korupsi, Privatisasi, dan Otonomi”, Kompas

Kartono, ST. 20002. ” Kepala Sekolah Antara Korupsi dan Otonomi”, Kompas

Kepmendiknas RI Nomor : 044/u/2002 tentang Komite Sekolah

Mulyasa, E. 005. Menjadi Kepala Sekolah Profesional dan Konteks Mensukseskan MBS dan KBK. Bandung : Rosdakarya

Musaheri. 2006. Perkembangan Peserta Didik untuk Memiliki Kompetensi Pedagogik. Yogjakarta : Pustaka Pelajar

Nurkholis. 2006.” Pendidikan sebagai Investasi Jangka Panjang”. InternetCom Nurkholis

Rozy, Syafuan. 2002. ”Menjinakkan Korupsi di Indonesia”.Jakarta : PPW LIPI

Peraturan Pemerintah Nomor : 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta : BP Cipta Jaya

Sutedjo. 2002. “Mengatasi Korupsi di Sekolah”. Kompas

Widodo, Joko. 2001. Good Governance Telaah Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Surabaya : Insan Cendikia

 

Biodata

Musaheri lahir 1 Juni 1963 di Sumenep. Kegiatan mengajarnya dimulai sejak tahun 1989 di STKIP-PGRI Sumenep. Untuk menunjang profesinya ia aktif sebagai pembicara dalam berbagai seminar, pelatihan dan penelitian serta sering menulis berbagai masalah pendidikan di jurnal pendidikan dan media massa. Beberapa karya ilmiah penelitian yang telah diselesaikannya : Unjuk Rasa Pelajar SMA tahun 2003 sebagai Ketua Tim Peneliti kerjasama STKIP-PGRI Sumenep dengan Bappeda Sumenep; Ketua Tim Peneliti Kurikulum Pendidikan Tinggi se-Kabupaten Sumenep tahun 2003 kerjasama STKIP-PGRI Sumenep dengan Bappeda ; dan Pelayanan Minimal Bidang Ketenagaan di Kabupaten Sumenep. Buku Pengantar Pendidikan (2005) dan buku Perkembangan Peserta Didik (2006) merupakan dua karya yang telah berhasil diterbitkan di tengah kesibukannya. Selain menjadi dosen di STKIP-PGRI Sumenep, sebagai sekretaris PGRI Sumenep dan staf Dikmen Dinas Pendidikan Sumenep. Untuk mengembangkan diri pada bidang keilmuannya, kini sedang menempuh pendidikan Pascasarjana UNISMA Malang.

 

 

 Back To Daftar Isi

WAWANCARA

Wawancara H. Moh. Rais, S.Pd. M.Si

Guru Biarkan Siswa Nyontek Termasuk Korupsi

Penyakit moral “ korupsi” telah benar-benar menjadi problem sangat kronis bagi bangsa Indonesia. Berbagai upayapun dilakukan, mulai seminar, seruan moral dan aksi sampai gagasan membuat kurikulum anti korupsi menjadi salah satu gerakan untuk melawan virus korupsi yang telah benar-benar menjangkiti kehidupan masyarakat kita. Gagasan tentang Pendidikan Anti Korupsi pun terus diwacanakan sebagai alternatif untuk menyelamatkan masa depan bangsa ini, yang diyakini paling strategis dalam memotong laju tradisi korup. Akan tetapi, pada sisi yang lain, lembaga pendidikan ternyata juga tidak bebas dari korupsi yang kerapkali terjadi di dalamnya, seperti yang dilaporkan TII dari sepuluh lembaga terkorup di Indonesia, lembaga pendidikan menempati pada urutan yang kesembilan. Apa yang salah dengan pendidikan kita. Berikut hasil perbincangan Mohammad Suhaidi RB dengan H. Moh. Rais, S.Pd., M.Si, kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep

 

Sampai kini bangsa kita tengah menghadapi problem moral yang sangat krusial. Dekandensi mor, misalnya di kalangan muda menjadi fakta menyakitkan tentang bangsa ini. Pada sisi yang lain, kenyataan ini tidak bisa lepas dari pendidikan. Bagaimana tanggapan Bapak?

Yang jelas secara pribadi, saya sebagai orang tua ikut merasa prihatin, karena pada saat ini dekadensi moral khususnya pada anak didik kita memang sudah banyak diperbincangkan. Artinya, merasa kecewa, tidak puas dan merasa mengkhawatirkan masyarakat banyak. Saya kira hal itu merupakan sesuatu yang wajar, karena bagaimanapun juga anak-anak bangsa pada hari ini merupakan harapan kita bersama di masa-masa yang akan datang, karena kita tidak pernah berharap bangsa kita menjadi terpuruk atau terjelek di masa kini, sehingga kita termasuk orang yang merugi.

 

Terkait dengan posisi pendidikan sendiri?

Terkait dengan pembangunan pendidikan, hal ini tetap sangat erat sekali, karena pendidikan merupakan sesuatu yang strategis dalam pembentukan karakter manusia. Dengan pendidikan diharapkan akan ada perubahan-perubahan yang sangat mendasar, sebab perubahan mendasar ini juga merupakan aspek keberhasilan di dalam pembangunan pendidikan. Namun yang harus kita pahami, pendidikan itu bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat. Disinilah, diperlukan adanya suatu komitmen dan kesungguhan para penanggung jawab, dengan tetap dilandasi oleh keikhlasan, sehingga dalam pembentukan moral ini akan berhasil dengan baik, apalagi kalau kita kembali pada konsep Nabi kita harus ibda’ bi nafsika : memulai dari diri kita masing-masing, mulai dari kehidupan keluarga, kehidupan masyarakat dan kemudian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sekali lagi, hal itu tetap terkait dengan komitmen dan kesungguhan dalam melakukan pembinaan moral anak didik kita. Sebab, bagaimanapun juga dalam proses pendidikan yang perlu dipahami adalah bahwa secanggih apapun teknologi yang dipersiapkan dan selengkap apapun sarana yang dipersiapkan bahkan sebaik apapun konsep dan teori yang dipersiapkan untuk mewujudkan tujuan pendidikan, tanpa dilaksanakan oleh orang-orang yang memiliki komtimen dan keikhlasan, maka insyaallah tidak akan berarti.

 

Salah satu penyakit moral yang tengah menjangkiti bangsa kita sampai kini adalah kebiasaan melakukan korupsi yang telah terjadi dimana-mana dan hampir sulit untuk diberantas. Sebagai pengelola pendidikan bagaimana bapak melihat hal ini?

Seperti yang saya katakan tadi, kita harus kembali pada komitmen pribadi. Saya yakin dan percaya mereka yang melakukan korupsi bukan orang-orang yang bodoh, tapi mengapa mereka masih berbuat demikian? Jadi, kembali pada mental seseorang. Mereka lupa bahwa yang diemban itu amanah dan kita mempunyai kewajiban untuk melakukan kemaslahatan. Oleh karena itu, siapapun juga, saya yakin dan percaya tidak seorangpun yang menyatakan bahwa korupsi itu baik, dan tidak seorangpun yang menyetujui adanya perilaku korupsi, tetapi bahkan sebaliknya : mereka menbencinya. Itulah kehidupan manusia. Mungkin tergoda dan karena faktor lain, sehingga ada yang melakukan perbuatan tersebut. Makanya, tetap kembali lagi pada pribadi masing-masing.

 

Bagaimana peran pendidikan sendiri di tengah menguatnya tradisi korup dalam bangsa kita, karena ada asumsi apa yang terjadi dengan para pemimpin kita saat ini, karena dibentuk oleh pendidikan di masa lalu?

 Ya, tapi kalau pendidikan yang sebenarnya tidak mungkin bernilai negatif. Kita sepakat dengan tujuan pendidikan kita, karena di dalamnya sudah tertera pendidikan agama. Jadi dalam pendidikan itu sendiri, tidak mungkin ada pelajaran yang mengajarkan kita harus korupsi. Tidak mungkin! Ya, karena mungkin hal itu lebih merupakan proses manusiawi, mugkin tergoda atau karena pengaruh lingkungan, akhirnya membuat seseorang berbuat itu (tindakan korupsi, red). Bisa jadi, karena adanya kesempatan dan mental tidak kuat sehingga bisa berbuat demikian. Saya yakin ketika mereka ditanyakan tentang perilaku korup dengan didasarkan pada hati nurani, mereka akan mengatakan bahwa perbuatan korup merupakan tindakan yang tidak benar. Ini memang menjadi problem bersama.

 

Apakah ada kemungkinan hal itu terjadi, karena adanya kesalahan dalam sistem pendidikan kita?

Kalau sistem, menurut saya sudah cukup bagus, hanya saja untuk mengimplimentasikannya yang agak sulit. Taruhlah misalnya, suatu perbuatan sederhana, dan hal itu merupakan bagian dari korupsi dalam pendidikan, membiarkan anak didik menyontek. Apalagi guru sampai terlibat di dalamnya, memberikan jawaban atas soal-soal. Secara tidak langsung merupakan perbuatan yang tidak baik dan telah membenarkan yang tidak baik, akhirnya akan membentuk pribadi bahwa dalam kehidupan ini berlaku salah, tidak ada masalah.

 

Dalam dunia pendidikan kita berarti telah terbiasa melakukan praktik mendidik yang salah kaprah pada anak didik?

Maaf, bukan terbiasa ya. Masih ada diantara oknum-oknum saja yang berani melakukannya. Walaupun saya masih tetap yakin, guru itu sebenarnya tetap baik, hanya saja terkadang tidak terasa kalau ada perilaku atau pendidikan yang tidak benar, akibat faktor lupa dan khilaf sebagai manusia. Contoh yang sering terjadi di rumah, kita sering bilang pada anak-anak kita “ kalau nanti ada yang telepon Bapak, bilang Bapak tidak ada”. Ini salah satu contoh perbuatan membenarkan yang tidak baik.

Dengan praktik korupsi sederhana seperti yang dijelaskan barusan, bagaimana langkah-langkah Bapak untuk memulai mencegah praktik yang demikian dalam pendidikan kita ke depan?

 Seperti yang saya katakan tadi. Perlu adanya komitmen terhadap konsep-konsep yang telah kita punya. Selarang kita lihat saja dalam program pembangunan pendidikan yang tertuang dalam peraturan Menteri Nasional No. 22 tahun 2006 tentang standar isi dan SK Mendiknas tahun 2006 tentang standar kompetensi kelulusan dimana secara nasional telah dipersiapkan ada delapan standar, antara lain standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelola, dan pembiayaan pendidikan.

Nah, standar-standar ini ditetapkan oleh pemerintah dan semua pelaku pendidikan harus mengacu, yaitu dalam rangka mewujudkan pendidikan dengan mengoptimalkan delapan standar ini. Kemudian, seperti standar isi misalnya, di dalamnya telah ada standar kurikulum yang dikenal dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan, dimana kerangka dari standar isi tersebut telah mengelompokkan lima mata pelajaran, atau kelompok dasar kurikulum, karena menjadi ruh dari pendidikan itu sendiri, antara lain kelompok mata pelajaran yang meliputi mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan kepribadian, IPTEK, jasmani, rohani dan kesehatan.

Hal ini semua dilakukan pada hakikatnya dimaksudkan untuk mewujudkan manusia yang paripurna. Dengan demikian, sudah sangat jelas sekali cakupan agama dan akhlak mulia dimaksudkan untuk membentuk peserta didik yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Tetapi dalam implimentasinya, guru seringkali lupa. Contohnya saat kita mengajar, tanpa terasa kita menuding anak dengan tangan kiri atau melarang anak duduk di atas bangku, tapi ada sebagian guru pada saat mengajar yang duduk di atas bangku. Ini semua merupakan contoh-contoh yang tidak baik.

 

Saat ini, juga sudah muncul gerakan pendidikan anti korupsi yang diusung oleh sejumlah kalangan. Menurut Bapak?

Sebenarnya begini. Yang kita bangun adalah manusia. Dalam hal ini terdapat tiga potensi yang harus dikembangkan pada anak didik, yaitu potensi intelektual, emosional dan spiritual. Kalau tiga potensi ini dikembangkan secara seimbang dan kita sadar bahwa yang kita bangun dalam rangka mewujudkan manusia seutuhnya, insyaallah tanpa pendidikan anti korupsipun, persoalan semacam ini bisa tertangani. Seperti juga, bagaimana meningkatkan kematangan intelektualitasnya, apalagi melalui konsep sekolah sebagai pusat kebudayaan yang di dalamnya ada pengembangan etika, estetika dan praktika, kemudian dalam pematangan sosialnya dan pematangan spritualnya.

Dalam soal ini, kita sering lupa dan sebagian guru yang hanya tahu dalam tugas profesionalnya hanya bertugas mengajar, padahal dalam tugas profesional guru adalah mendidik, tapi ini tidak menonjol. Yang lebih menonjol hanya mengajarnya. Padahal dalam mengajar itu sebenarnya mempunyai nilai mendidik. Makanya yang namanya pendidikan moral itu include dalam semua mata pelajaran.

 

Untuk mencapai arah luhur pendidikan tersebut, bagaimana strategi dinas pendidikan sendiri ?

Saya kira telah ada beberapa kebijakan. Misalnya yang ada dalam proses pembelajaran, dikenal dengan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, inovatif dan Menyenangkan). Menurut saya konsep-konsep pemerintah saat ini telah banyak dan yang namanya pendidikan berorientasi life skil dan kecakapan hidup. Telah cukup banyak, tapi tetap kembali pada manusianya saja.

 

Dalam merealisasikan konsep-konsep tersebut, selain faktor oknum guru, adakah faktor lain yang menghambat?

Kita kembali pada faktor pengelolaannya. Kalau dalam pengelolaanya kita telah menggunakan konsep manajemen seperti yang dilakukan selama ini, seperti apa yang dikenal dengan manajemen berbasis sekolah dengan prinsip-prinsipnya, antara lain transparansi, kebersamaan dan kemandiran. Andaikata ketiga prinsip ini dilaksanakan, mungkinkah akan terjadi korupsi?

 

Respon dinas pendidikan sendiri ketika ada kebiasaan kurang baik guru di sekolah, misalnya membiarkan nyontek dan lain sebagainya?

 Meningkatkan pengawasan dan melakukan pembinaan-pembinaan.

 

Apakah cara itu bisa efektif?

Insyaalah efektif. Sebab mereka juga punya nurani. Bagaimanapun kalau mereka dikatakan salah, tidak akan mengulangi.

 

Dalam laporan TII (Transparancy Internasional Indonesia) dari sekian sepuluh lembaga terkorup di Indonesia, lembaga pendidikan masuk di urutan kesembilan?

 Kalau memang hal itu sudah berdasarkan data yang ada, bagaimanapun harus kita terima. Saya sebagai orang yang aktif dalam dunia pendidikan, hanya prihatin, karena berarti diantara kita masih banyak yang melakukan korupsi. Mungkin saja laporan itu obyektif, karena kita tidak tahu standar penilaian yang mereka gunakan. Saya ikut prihatin kalau hal itu benar.

 

Komitmen Bapak terkait dengan pendidikan anti korupsi?

Bagaimanapun ke depan saya tidak pernah menghendaki. Dengan alasan apapun untuk melakukan korupsi, saya sangat tidak sependapat.

 

Kalau misalnya kebiasaan korup ini terjadi dalam lingkungan kerja Bapak (Dinas Pendidikan)?

Makanya, saya akan berupaya. Saya sering bilang pada semua pihak, manakala ada oknum-oknum saya yang ditengarai melakukannya, seperti dalam pengelolaan BOS dan lain-lain, maka kami akan mencoba mengendalikannya agar sekolah bisa berhati-hati.

 

Harapan Bapak terhadap pendidikan anti korupsi di sekolah?

Saya masih memahami, pendidikan itu merupakan pekerjaan suci di hadapan Allah. Oleh karena itu, kita mencoba menekan dalam pengelolaan pendidikan tidak sampai mengarah pada perbuatan-perbuatan yang memiliki nilai-nilai jelek di hadapan Allah.

 

 

 

 Back To Daftar Isi

ARTIKEL LEPAS

Menggairahkan Kembali Pendidikan Anti Korupsi :

Memulai dari Pendidikan Pesantren

 Oleh. Zaiturrahim RB

 

Kita tidak bisa memiliki pendidikan tanpa revolusi

Kita telah mencoba pendidikan damai selama seribu sembilan ratus tahun

Mari kita coba revolusi dan kita lihat. Apa yang dapat dilakukannya sekarang

(Hellen Keller)26

 

Korupsi yang Membudaya

Wacana tentang korupsi dalam konteks bangsa Indonesia telah menjadi sesuatu yang selalu ramai dan menarik diperbincangkan. Bangsa yang baru merdeka dari hegemoni Orde Baru ini, setidaknya sejak reformasi digulirkan telah menjadikan persoalan korupsi sebagai wacana bersama yang tidak pernah basi. Hal itu terjadi karena satu faktor sangat mendasar, korupsi telah menjadi penyakit kronis dan sulit untuk disembuhkan dalam semua sektor kehidupan bangsa. Tidak heran kalau wacana korupsi acapkali terdengar di sana-sini bagaikan angin yang selalu berdesir dalam setiap waktu, detik dan menit. Akibatnya, bangsa yang dulu pernah disesumbarkan sebagai bangsa yang gemah ripah loh jinawi ini harus dimasukkan ke dalam salah satu daftar negara terkorup se-dunia27 dari sekian negara yang juga terjangkiti penyakit korupsi mengkorupsi.28

Dengan demikian, persoalan korupsi mengkorupsi telah menjadi bagian yang tidak bisa terpisahkan, bahkan banyak yang merasa skeptis terhadap pemberantasan korupsi yang akan dilakukan, terutama oleh pemerintah.29 Praktik tidak berakhlak korupsi telah menjadi sindrom klasik masyarakat kita hampir dalam semua sudut : dari atas sampai ke bawah. Dari orang-orang yang sudah terbiasa melihat tumpukan uang sampai orang-orang yang baru melihat uang banyak.30 Bahkan yang sangat aneh, tradisi korup telah terbangun dan menjadi bagian dari mental kalangan yang selama ini diyakini sebagai figur umat : bernama tokoh masyarakat. Artinya, hampir tidak ada yang bisa diharapkan dari figur-figur dalam bangsa ini. Terlepas apakah hanya dijadikan sebagai korban ataupun bukan, ada beberapa figur-figur umat yang harus dijobloskan ke dalam penjara karena telah melakukan praktik bejat korupsi, yang pada gilirannya merugikan orang lain, bangsa dan negara.31

Karena saking mengentalnya praktek korupsi, KH. A. Musta’in Syafi’ie memberikan gambaran yang benar-benar menakutkan tentang korupsi dan bangsa ini. Menurutnya :

Kebejatan moral korup di negeri ini sudah demikian tidak terbahasakan. Dalam berbagai dialog, seminar, diskusi, sarasehan, tulisan dan lain-lain, seluruhnya menggambarkan keadaan kronis yang sangat mengerikan. Ada yang mengibaratkan bagai kanker ganas yang telah menyebar ke seluruh organ tubuh. Ada yang menggambarkan kayak air comberan, dimana bangsa Indonesia ada di dalamnya. Ada yang menyajikan anekdot dengan menunjukkan bahwa zaman Pak Harto, korupsi terjadi di belakang meja. Tetapi zaman setelahnya, korupsi di atas meja. Sekarang, sekalian mejanya dikorup terang-terangan.32

Kenyataan itu merupakan pengalaman pahit dan memalukan tentang bangsa kita. Para pemimpin bangsa Indonesia yang diharapkan dapat menjadi suriteladan, telah jauh panggang dari api. Rata-rata mereka telah terjebak dengan tipu daya tradisi korupsi mengkorupsi yang mengental. Namun demikian, apapun yang terjadi dengan para pemimpin bangsa ini, secara fundamental tetap tidak bisa dilepaskan dari proses yang telah dibangun. Meminjam kalimat Musthofa Bisri, apapun yang terjadi dengan para pemimpin kita, mereka tetap merupakan produk dari pendidikan bangsa yang tidak bisa dinafikan.33 Dengan kata lain, sejahat apapun dan sebejat apapun para pemimpin bangsa serta se-istiqomah bagaimanapun masyarakat kita terhadap tradisi korupsi, pada hakikatnya tetap harus dikembalikan pada pendidikan yang telah dilaksanakan. Mereka merupakan produk asli pendidikan dengan sistem dan metode yang telah diberikan. Maka, pendidikan secara tidak langsung harus ikut bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi. Perilaku korup, pungli, penyelewengan dan penyakit-penyakit moral lain yang tengah terjadi merupakan potret nyata tentang wajah suram pendidikan.

Pendidikan dengan demikian, sangat bertanggung jawab terhadap produk yang telah dihasilkan. Apa yang terjadi dengan pemimpin-pemimpin kita hari ini pada hakikatnya merupakan cerminan sangat utuh tentang out put yang dihasilkan oleh pendidikan kita selama bertahun-tahun, termasuk juga posisi pesantren34 sebagai salah satu lembaga pendidikan yang selalu membawa jargon amar ma’ruf nahi munkar dan senantiasa menyenandungkan lagu-lagu indah tentang li maslahatil ummah, dimana keadilan dan ketenteraman menjadi cita-cita besar yang selalu diharapkan dari generasi-generasi hasil dan produk pesantren. Sebab, pesantren sebagai institusi pendidikan dalam konteks bangsa Indonesia merupakan bagian yang tidak bisa disepelekan. Jumlah pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan berbasis Islam memiliki jumlah yang sangat luar biasa, sehingga dalam konteks kehidupan pendidikan bangsa Indonesia, posisi pesantren yang notabene sebagai lembaga pendidikan bernuansa Islam memiliki posisi yang sangat strategis dalam membentuk masa depan pendidikan bangsa Indonesia.

Dalam catatan Bisri Efendi, setidaknya pada tahun 1990, jumlah pesantren dan madrasah yang ada di Madura saja telah berjumlah 2.271, lebih banyak dibandigkan dengan jumlah sekolah umum yang hanya 731.35 Dengan jumlah yang sangat banyak tersebut, keberadaan pesantren dan madrasah khususnya di Madura memiliki peranan yang sangat strategis dalam memupuk setiap potensi yang dimiliki oleh Madura. Maka, baik dan tidaknya Madura, pada satu sisi juga menjadi tanggung jawab pesantren yang tidak bisa dinafikan atau apapun yang terjadi dengan para pemimpin di Madura saat ini, juga tidak bisa dilepaskan dari keberadaan pesantren dan madrasah, karena dalam konteks Madura lembaga pendidikan seperti pesantren masih dianggap sebagai lembaga pendidikan pilihan utama dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain. Lembaga pendidikan Islam (pesantren, penulis) dengan segala dinamikanya telah memainkan banyak fungsi penting baik sebagai lembaga keagamaan yang mengajarkan dan mengembangkan ilmu agama Islam, lembaga kemasyarakatan yang senantiasa terlibat langsung dengan dinamika masyarakat, maupun lembaga kaderisasi dengan sistem “pengkaderan” ulama dan santri.36

Pesantren tidak bisa menutup mata atas merajalelanya tradisi korup di dalam bangsa ini, karena target dari visi pesantren adalah menegakkan kalimatillah sebagai bagian dari upaya menerjemahkan rahmatan lil alamin (safety for all) dan korupsi secara faktual merupakan bagian dari praktik yang berlawanan dengan idealisme kalimatillah itu sendiri, maka membiarkan praktik korupsi sama halnya dengan telah menafikan orientasi dan gerakan mewujudkan masyarakat yang thoyyibatun wa robbun ghafur,37 salah satunya dengan cara memutus mata rantai generasi yang tengah kecanduan terhadap virus-virus korupsi.

Berharap pada generasi bangsa yang ada hari ini sangat tidaklah memungkinkan. Karena generasi yang ada tengah tercerabut dari akar moral mereka, sehingga tidak bisa diselamatkan dan dilepaskan dari cengkeraman tradisi korup yang sudah mendarah daging, kecuali dengan cara melakukan upaya memulai dari generasi baru yang masih hijau dan memungkinkan untuk dijauhkan dari virus-virus bejat korupsi.

Generasi baru ini yang pada gilirannya dapat diharapkan untuk tampil sebagai generasi masa depan yang terbebas secara total dari paradigma “melakukan korupsi sebagai sesuatu yang biasa” seperti yang tengah terjadi, salah satunya melalui media pendidikan pesantren yang serius. Pesantren harus sudah mulai membaca persoalan ini secara kritis dan obyektif dengan menganggap persoalan tradisi korupsi sebagai penyakit sosial yang membahayakan. Kesadaran semacam itu merupakan keniscayaan dan harus menjadi titik fokus pendidikan pesantren, sehingga kesadaran tentang asumsi “biasa” dalam melakukan korupsi bisa segera terhapus.

Sebagai lembaga pendidikan yang berbasis agama (Islam) dimana persoalan moralitas menjadi salah satu agenda substansial dalam proses pendidikan pesantren, sehingga harapan satu-satunya terhadap pesantren sebagai lembaga yang masih dianggap sebagai lembaga kaderisasi generasi bermoral tetap menjadi predikat yang tidak akan pernah melapuk. Pesantren menurut hemat penulis memiliki tanggung dalam menopang pemberantasan korupsi secara perlahan melalui sistem dan metode pendidikan yang dikembangkan di dalamnya. Artinya, sebagai lembaga moral, pesantren menjadi driving force dalam melakukan ikhtiyar guna memulai pemberantasan korupsi, dalam rangka mewujudkan masyarakat yang bebas dari pengaruh jahat korupsi.

Sebab, perilaku korup yang dilakukan oleh para pemimpin atau para tokoh-tokoh kita selama ini, pada hakikatnya tidak lepas dari rendahnya kualitas moral yang dimiliki. Partinya, persoalan perilaku korup dan bentuk-bentuk penyelewengan yang lain, tidak bisa dilepaskan oleh kepincangan moral yang tidak lagi stabil, sehingga menyebabkan setiap individu tidak lagi mampu berfikir jernih : mana yang haq dan mana yang batil, mana hak rakyat dan mana hak diri sendiri, yang bisa saja disebut – dalam terminologi al-Qur’an- fi qulubihim maradun fa zada humullahu maradlan (di dalam hati mereka ada penyakit, maka Allah menambah penyakit dalam hati mereka), karena pendidikan pada hakikatnya memiliki target fundamental menyembuhkan maradun-maradun (penyakit-penyakit) yang ada dalam hati, yakni penyakit amoral dan miskin perasaan, sehingga mudah melakukan tindakan di luar batas ajaran agama, seperti korupsi, dalam kerangka Jabir Al-Faruqi manusia yang lalai dan korup disebabkan mata hati yang tertutup oleh keserakahan. Tuhan manusia bukan lagi Allah, tetapi uang. Cita-cita hidup bukan lagi untuk mengabdi kepada Allah, tetapi uang.38

Dalam kerangka ini, DR. dr. Wahjoetomo, menyebutkan karena minimnya bekal agama, mereka mudah melakukan penyelewengan, kolusi, korupsi – yang menurut Prof. Sumito Djojohadikusumo telah mencapai tiga puluh persen dari dana pembangunan – dan sebagainya. Akhirnya, tujuan pembangunan nasional, yakni mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, tidak bisa terwujud dalam waktu relatif singkat.39

Lemahnya bekal moral keagamaan semacam itu, pada gilirannya melahirkan individu-invidu lemah moral yang kehilangan eksistensi kemanusiaannya sebagai manusia sejati yang selalu dilandasi oleh semangat kejujuran. Pesantren sebagai lembaga pendidikan agama dimana nilai-nilai moralitas menjadi pijakan utama di dalamnya tetap menjadi satu-satunya harapan di tengah banyak lembaga pendidikan yang tengah kehilangan daya eksistensialnya sebagai sarana pembebasan, terutama pembebasan dari belenggu de-moralitas (de-al-akhlakul karimah)

Dengan karakter tersebut, pesantren telah menempatkan dirinya sebagai - meminjam istilah Anthony Gidden – garda depan sejarah,40 yang tidak akan pernah lapuk. Sebagai benteng terakhir pertahanan moralitas bangsa, pesantren sudah waktunya menegaskan orientasi gerakannya secara kaffah, terutama dalam konteks gerakan anti korupsi. Peranan strategis tersebut, merupakan keniscayaan yang harus terbangun menjadi cita-cita pesantren. Gerakan anti korupsi yang marak melalui berbagai media dan cara, tidak akan pernah menghasilkan apa-apa, tanpa dibarengi oleh gerakan-gerakan yang lebih menyentuh, khususnya melalui sektor pendidikan (pesantren). Adanya kesadaran untuk memulai gerakan pemberantasan anti korupsi melalui sektor pendidikan, menurut hemat penulis merupakan langkah luhur yang tidak bisa ditolak. Pendidikan sudah harus melahirkan generasi-generasi baru yang sejak dini telah mendapatkan pemahaman secara utuh tentang bahaya perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme.

Hal inilah yang dalam pandangan penulis merupakan salah satu pilihan revolusi beradab dari sekian revolusi yang selalu ditawarkan untuk memberantas praktik “membudaya” korupsi dalam kehidupan bangsa kita yang sangat parah.41 Yakni generasi bermoral yang bersih dari segala ajaran tentang korupsi mengkorupsi dan memiliki keyakinan utuh bahwa melakukan korupsi merupakan bentuk tindakan yang hanya mengurangi martabat kemanusiaan.

Kesadaran semacam itu, yang selama ini tidak bisa dibentuk di dalam proses-proses pendidikan. Tidak heran kalau pendidikan dan bisa juga pesantren selalu gagal dalam melahirkan generasi utuh yang memiliki kesadaran moral dan komitmen kemanusian yang tinggi. Praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang tidak lagi mengenal figur dan status sosial acapkali menjadi kenyataan pahit yang harus diterima sebagai konsekwensi logis dari kegagalan proses-proses pendidikan yang telah dilakukan.

Membebaskan Pendidikan Pesantren : Merajut Hakikat

Pendidikan pesantren42 sebagai salah satu perangkat dalam upaya membangun masyarakat yang beradab, merupakan bagian sangat strategis dalam mewujudkan cita-cita UUD 45 menuju masyarakat yang berpendidikan dan menciptakan manusia-manusia yang seutuhnya.43 Pesantren pada hakikatnya merupakan sarana pengembangan manusia yang tidak bisa selalu diam tanpa gerakan dalam membaca kondisi dan situasi yang terjadi. Tantangan yang sangat keras di depan mata dengan seperangkat problem moral yang sangat kompleks merupakan wujud nyata yang tidak boleh tidak harus menjadi fokus dari gerakan pendidikan pesantren.

Sebab, akar persoalan dari krisis multidimensi yang terjadi, lebih-lebih persoalan korupsi karena moral tidak lagi menjadi basis gerakan pendidikan yang dibangun. Pendidikan yang dibangun dengan menafikan signifikansi moral akan melahirkan kepincangan-kepincangan sosial yang tidak bisa digugat. Satu-satunya harapan untuk mengentaskan persoalan moral yang tidak lagi stabil semacam ini, hanya kembali kepada komitmen awal ; mengembangkan pendidikan pesantren yang secara kritis dan kreatif serta liberatif. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren tetap memiliki visi ideal untuk melakukan upaya pembebasan secara kaffah. Yakni membebaskan manusia dari belenggu-belenggu dehumanisasi yang dimiliki. Tujuan tersebut memang menjadi idealisme kehadiran pesantren sejak awal, bahwa pesantren merupakan agen pembebasan moralitas bangsa menuju masyarakat yang amanu wa at-taqau, sehingga lafatahna alaihim barokaatin min as-sama’, seperti yang memang dicita-citakan oleh al-Qur’an. Masyarakat yang selalu menjadikan kejujuran dan kemaslahatan sebagai piranti dalam membangun masyarakat baru yang selalu mengajarkan tentang kebencian terhadap tradisi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Pola pemahaman ke arah itu tetap tidak bisa dilepaskan dari peran pendidikan dan pendidikan pesantren secara khusus. Dalam upaya menerjemahkan agenda besar mewujudkan generasi masa depan yang bebas korupsi. Sebagai institusi pendidikan, langkah awal yang harus dilakukan adalah dengan cara meneguhkan idealisme bahwa lembaga pendidikan pada hakikatnya merupakan media pembebasan kemanusiaan secara total (humanisasi). Hal ini berarti, pendidikan memiliki andil yang besar dalam mencetak dan membentuk manusia baru, yaitu manusia yang memiliki kesadaran44 utuh sebagai manusia melalui proses pendidikan yang tetap mengedepankan spirit humanisasi.45 Semangat humanisasi tersebut, secara substansial menjadi acuan setiap lembaga pendidikan, sehingga proses pembelajaran dan metodologi serta materi yang diberikan tetap terkait dengan arah mendasar untuk melakukan pembebasan kemanusiaan, termasuk membebaskan manusia dari pengaruh-pengaruh yang bersifat a moral dan berlawanan dengan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan. Pendidikan pada hakikatnya merupakan sarana untuk mengarahkan manusia ke arah yang lurus dan bertatakrama, bukan hanya bertugas mencerdaskan dalam aspek intelektualitas, kompetensi, dan skiil, tetapi juga aspek spritualitas (moralitas).46

Dalam konteks ini, pendidikan pesantren memiliki peluang strategis untuk mulai memasukkan materi-materi tentang anti korupsi lebih kritis dan mengena. Apalagi pesantren sangat kental dengan materi agama yang lebih berpeluang dimasukkan, sehingga teologi pemberantasan korupsi dapat ditanamkan dengan baik kepada para santri. Jargon-jargon perlawanan terhadap segala bentuk kedzoliman dan penyimpangan yang menafikan kepentingan bersama (rakyat), baik dalam bentuk korupsi, kolusi maupun nepotisme, dapat tertransformasi secara mudah menjadi bangunan kesadaran moral yang sangat kuat.

Maka, pembelajaran agama yang menjadi tulang punggung pendidikan pesantren tidak hanya diajarkan dan dipelajari dalam setiap proses belajar , antara santri dan guru, tetapi dijadikan sebagai materi yang tidak memberikan efek apa-apa. Materi agama sudah waktunya diberikan dengan mengacu pada upaya bagaimana memberikan efek dan diamalkan. Misalnya jargon-jargon teologis tentang anti korupsi tidak hanya disampaikan, tetapi benar-benar dipahami sebagai acuan untuk selalu dipegang dan dijadikan sebagai pegangan moral yang sangat tinggi, sehingga tidak akan terjadi apa yang dikenal dalam konteks pesantren : al-ilmu bila amalin kasy-syajari bila tsamarin (ilmu yang tidak diamalkan sama halnya dengan pohon tanpa buah). Identitas diri memang beragama (muslim atau mantan santri) yang sudah sangat hafal bahwa melakukan korupsi merupakan salah satu kebejatan perilaku, tetapi semua itu acapkali dinafikan, ketika yang bersangkutan berhadapan dengan kekuasaan, uang dan memiliki kesempatan47 untuk melakukan korupsi. Maka segala jargon dan pengetahuan tentang larangan KKN seakan tidak lagi mampu menjadi pijakan dan menjadi sesuatu yang hambar. Pendidikan memang tinggi, tetapi dalam praktiknya tidak bisa dijadikan sebagai jaminan membentuk manusia-manusia yang bersih dengan kewibawaan yang luhur. Orang-orang yang telah sah diputuskan sebagai koruptor, tersangka ataupun masih terindikasi, pada kenyataannya bukan orang sembarangan yang tidak memiliki pengalaman pendidikan. Akan tetapi, rata-rata mereka merupakan orang-orang yang memiliki pengalaman pendidikan yang tidak rendah.

Namun demikian, pengalaman pendidikan yang mereka tempuh sama sekali tidak mampu menjadi cahaya bagi dirinya dan membebaskan diri dari pengaruh tradisi korup. Pendidikan yang telah diikuti sama sekali tidak memberikan bekas untuk menjadi orang baru yang pantas diteladani dan manusia utuh seperti yang menjadi cita-cita UUD 45. Hal itu terjadi karena proses pendidikan yang dilakukan telah gagal dijadikan sebagai sarana pencarian jati diri sebagai manusia-manusia bermoral tinggi. Pendidikan hanya difokuskan untuk meningkatkan kecerdasan akal, menambah kompetensi dan skill-profesionalitas ilmu pengetahuan, bukan diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan spritual dan hati nurani. Akibatnya, pendidikan bukan malah menjadi sarana ke arah menggapai perilaku yang lebih baik, tetapi sangat jauh melampaui cita-cita ideal sebuah pendidikan : untuk memperbaiki perilaku dan aktifitas hidup yang sesuai dengan konteks kemanusiaan dengan menjunjung semangat moralitas. Karena upaya penyadaran yang menjadi tulang punggung pendidikan tidak berhasil ditanamkan secara maksimal. Padahal, untuk melahirkan generasi baru yang memiliki bobot dan komitmen, kesadaran tetap menjadi kekuatan sangat signifikan di dalam proses pendidikan. Sebab, setelah melewati proses penyadaran, pendidikan akan mampu membebaskan manusia dari belenggu hidup manusia.48 Dalam proses akhir ini, pendidikan akan membebaskan manusia sekaligus mengembalikan pada potensi-potensi fitri.49

 Pesantren dan Paradigma Baru : Dari Teologisasi ke Ideologisasi Anti Korupsi

Pendidikan pesantren, secara faktual merupakan media yang ke depan sudah harus mampu memahami persoalan ini secara obyektif dan transformatif. Agenda besar pendidikan pesantren sebagai salah satu entitas yang menopang pendidikan nasional di masa-masa depan adalah melakukan revitalisasi terhadap materi-materi keagamaan (moral) terutama materi yang terkait dengan konsep-konsep perlawanan terhadap budaya korup, yakni tidak hanya sekedar jargon, tetapi ada usaha untuk membumikannya secara mendalam menjadi bagian dari kesadaran yang sangat kuat terhadap para santri. Konsep-konsep keagamaan dengan demikian, tidak hanya diajarkan secara kaku, tetapi dibarengi oleh semangat liberatif dan transformatif, yaitu bagaimana para santri juga diikat dengan satu prinsip menerjemahkan konsepsi tersebut secara praksis sekaligus menjadi ideologi yang tidak bisa dihilangkan. Jadi, dari teologi anti korupsi ke ideologi anti korupsi merupakan tahapan yang harus dilakukan dan dimantapkan dalam pesantren. Pendidikan pesantren tidak hanya melakukan teologisasi an sich, tetapi juga ideologisasi konsep-konsep anti korupsi yang pada gilirannya akan tertransformasi menjadi cita-cita yang terwujud dan menjadi jati diri para santri.

Komitmen ke arah itu yang secara substansial harus menjadi acuan pengembangan pendidikan pesantren, sehingga posisi pendidikan pesantren akan benar-benar mencapai target idealnya membebaskan manusia dengan cara membangun moralitas dan mental kuat sebagai generasi yang memegang prinsip ber-amar ma’ruf dan ber-nahi munkar, dimana nilai-nilai keadilan menjadi bagian dari target yang harus dikembalikan untuk semua. Generasi yang dibentuk dengan paradigma semacam ini, jelas tidak bisa diwujudkan tanpa melalui proses panjang bernama pendidikan yang maksimal.

Dalam kerangka ini pula, profil yang harus dilahirkan oleh pendidikan pesantren ialah figur intelektual organik atau ulama’ organik yang senantiasa memahami tujuan esensial pendidikan untuk menerjemahkan makna kemaslahatan dan keadilan dengan cara istiqomah melawan setiap ketidakadilan, baik yang dibangun oleh struktur maupun nonstruktur, sesuai dengan jargon-jargon ideal yang seringkali kita dengar : Sesungguhnya Allah menyuruh [kamu] berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.50

Sangat jelas bahwa arah pendidikan pada hakikatnya mengerucut pada satu arah melahirkan generasi berbobot yang memiliki komitmen dalam menciptakan kemaslahatan. Pendidikan merupakan sarana membentuk kesadaran hidup manusia untuk kembali pada hakikat kemanusiaannya : bahwa manusia tercipta untuk saling memahami dan saling melindungi antara satu dengan yang lain secara sosial. Zakiah Darajat, seperti dikutip Prof. Dr. H. Jalaluddin menulis bahwa pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. John Dewey menyatakan, bahwa pendidikan sebagai salah satu kebutuhan, fungsi sosial, sebagai bimbingan, sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup.51

Itulah menurut hemat penulis yang menjadi substansi pendidikan dan merupakan target sasaran dari pendidikan. Disiplin hidup yang barang tentu sangat universal menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia, terutama disiplin dalam melakukan kerja-kerja pemberantasan terhadap praktik korupsi sesuai dengan visi pendidikan yang pada hakikatnya untuk melakukan pembebasan dan pencerahan. Yakni pembebasan dari belenggu-belenggu ketertindasan moral (demoralitas) dan penjara kehidupan yang asosial, yang pada gilirannya layak meyandang predikat baru sebagai pelajar. Karena pelajar dalam pandangan al-Attas,52 orang terpelajar adalah orang baik, dan ‘baik’ yang dimaksudkannya disini adalah dalam artian yang menyeluruh, “ yang meliputi kehidupan spritual dan material seseorang, yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterima. Makanya, orang yang terpelajar semacam ini oleh al-Attas disebut sebagai orang beradab.53 Al-Attas menulis :

Orang yang baik itu adalah orang yang menyadari sepenuhnya akan tanggung jawab dirinya kepada Tuhan yang haq, yang memahami dan menunaikan kewajiban terhadap dirinya sendiri dan orang lain yang terdapat dalam masyarakatnya, yang selalu berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju ke arah kesempurnaan sebagai manusia yang beradab54

Apa yang diutarakan oleh al-Attas, merupakan asumsi ideal tentang out put yang harus dihasilkan di dalam pendidikan. Kehidupan beradab yang menjadi dambaan bersama, tidak akan pernah tercapai tanpa terlebih dahulu mencetak pribadi-pribadi yang memiliki kesadaran sebagai pribadi yang beradab. Artinya, menciptakan kehidupan beradab yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, tidak bisa dilepaskan dari membangun invidu-individu beradab melalui proses-proses pendidikan yang maksimal. Persoalan korupsi tidak bisa lagi hanya dijadikan sebagai agenda prematur dan tidak adanya kebersamaan, karena korupsi telah menjadi bagian kronis dari penyakit moral yang sulit disembuhkan. Jalan satu-satunya adalah mengembalikan orientasi gerakan pemberatasan ini pada pendidikan, dan pendidikan pesantren secara khusus.

Pesantren sudah waktunya, secara kaffah merespon persoalan ini sebagai sesuatu yang dlorurat untuk dilawan. Peran besar pesantren sebagai lembaga pendidikan dan lembaga moral tetap menjadi harapan bersama untuk selalu diterjemahkan, terutama dalam kerangka menyiapkan generasi yang secara genuine mampu mengenali dan membebaskan dirinya melalui pencerahan-pencerahan yang kritis dan transformatif. Pendidikan pesantren sudah harus menggairahkan kembali pemberantasan korupsi secara ketat melalui pembelajaran dan upaya doktrinasi yang mendalam terhadap para santri. Upaya semacam ini, pada gilirannya akan mengasumsikan terciptanya paradigma perlawanan yang sangat keras, karena anak didik pada hakikatnya akan sangat ditentukan oleh pendidikan yang dilalui. Maka penolakan terhadap korupsi, kolusi dan nepotisme harus dianggap sebagai bagian dari jihad besar yang harus dilawan.

Oleh sebab itu, doktrinisasi anti korupsi sejak awal melalui pendidikan pesantren merupakan salah satu strategi yang sangat strategis dalam melahirkan generasi baru yang anti korupsi, kolusi dan nepotisme, karena pada masa-masa pendidikan semacam ini setiap individu bisa dibentuk. Karakter anak didik secara faktual sangat mudah diarahkan pada saat ia berada dalam proses-proses pendidikan.

Dalam keterkaitan ini, pendidikan menjadi tulang punggung utama pembentukan jati diri bangsa, setelah setiap individu yang menopang di dalamnya memiliki kapasitas dan kualitas pendidikan yang kaffah sesuai dengan orientasi dasar pendidikan sebagai sarana pencerahan dan pembebasan, yakni pembebasan total manusia dari segala belenggu, baik moral maupun intelektual. Teologi anti korupsi yang secara faktual memang dimiliki oleh pesantren dan menjadi ajaran luhur Islam harus digairahkan dengan istiqomah di dalam proses pendidikan yang dilaksanakan di pesantren, baik secara formal maupun non formal.  

Refleksi : Istiqomah Melawan Korupsi

Pesantren dengan corak dan paradigma seperti di atas merupakan arah baru yang harus menjadi tumpuan gerakan pendidikan pesantren. Peran dan posisi pesantren harus secara aktif dan kreatif mengambil bagian dalam setiap persoalan besar yang mengancam masa depan generasi bangsa ini. Pilihan perlawanan heroik pada saat masa-masa penjajahan, harus kembali digairahkan oleh komunitas pesantren. Pendidikan pesantren setidaknya kembali menggairahkan teologi perlawanan dan perjuangan untuk melawan setiap penjajahan baru bernama korupsi yang tengah menggerogoti masa depan bangsa Indonesia. Maka, pesantren sebagai lembaga pendidikan dalam pandangan penulis tetap dapat dijadikan sebagai sarana strategis untuk memulai semuanya : memulai memasukkan perlawanan anti korupsi terhadap sistem dan materi pendidikan yang dikembangkan dan menjadi konsen pendidikan pesantren..

Upaya mengerim laju praktik korupsi melalui institusi merupakan pilihan yang tidak salah, salah satunya melalui institusi pendidikan. Seperti yang telah diteliti oleh Robert Klitgart, seorang sosiolog anti korupsi AS terhadap beberapa negara yang telah berhasil memeberantas korupsi, yang menurut Robert Klitgart senantiasa memberikan penawaran institusional dalam mengerem laju korupsi, seperti yang dilakukan di Hongkong, pemerintah kota New York di Amerika Serikat dan kota Lapaz di Bolivia. Ketiga pengalaman tersebut dapat dijadikan sebagai pelajaran bahwa tidak ada alasan untuk menunda pemebarantasan korupsi atau membiarkannya sama sekali meskipun dalam situasi yang sulit, dengan tidak mengabaikan agenda pembangunan.55

Sebagai bagian dari institusi itu sendiri, pendidikan pesantren dengan begitu menjadi bagian yang tidak bisa terpisahkan dalam upaya menerjemahkan pengalaman yang telah dilakukan oleh beberapa negara, seperti yang telah berhasil diteliti oleh Robert Klitgart di atas. Dari sinilah, alasan mengapa penulis tetap percaya bahwa pesantren, selain sebagai institusi, pesantren juga memiliki sisi unik yang tidak bisa dimiliki oleh institusi lain. Sisi unik yang masih memancarkan cahaya harapan adalah pesantren sebagai lembaga yang memiliki basis moral dan basis keagamaan yang sangat kuat.

Dengan sisi-sisi unik semacam ini, upaya menggairahkan kembali perlawanan anti korupsi sangat mudah ditanamkan pada para santri, yang pada gilirannya diharapkan akan menjadi generasi baru. Yakni generasi yang di dalam jiwanya semangat melawan korupsi menjadi bagian dari kesadaran hidup yang tidak bisa ditawar lagi. Pesantren harus merubah pradigma masa lalu yang telah menjadi korupsi sebagai pendidikan yang tersosialisasi ke arah baru pendidikan yang secara tegas menjadikan korupsi sebagai materi yang harus dilawan. Karena santri adalah agen masa depan yang memiliki tugas teologis sebagai mundzirul qaum (transformator) di masyarakatnya masing-masing, yang memiliki tugas universal menerjemahkan pesan-pesan suci seperti yang telah menjadi ajaran suci pesantren, salah satunya ajaran tentang pembelaan terhadap kaum mustadz’afin dan al-madzlumin, serta perlawanan terhadap segala macam bentuk praktik bejat yang merugikan, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. KKN, dalam kernagka S. Yunanto disebut juga akan menjauhkan bangsa ini dari cita-cita keadilan, karena arah kebijakan publik tidak akan berpihak pada kepentingan rakyat banyak sebagai pemegang kedaulatan rakyat.56 Itulah saya kira ajaran resmi dari risalah yang sejak awal Islam diturunkan selalu disuarakan oleh sang revolusioner Islam, nabi Muhammad SAW. Dan pesantren sebagai pelopor dari gerakan besar Nabi Muhammad secara istiqomah sangat diharapkan untuk seantiasa menjadi pelopor dalam melawan setiap kemungkaran yang terjadi. Korupsi, kolusi dan nepotisme, jelas merupakan bagian dari bentuk kemungkaran yang harus dilawan dan dibasmi. Wallahu a’lam bis shawab.

 

26 Dikutip dari Pengantar Eko Prasetyo “Pendidikan Menghamba pada Siapa?Dlam Mua’rif, Wacana Pendidikan Kritis : Menelanjangi Problematika, Meretas Masa Depan Pendidikan Kita (Jogjakarta, IRCiSOD, 2005) hlm. 11

27 Lihat. Mohammad Suhaidi RB “ Koruptor dan Tikus” dalam Majalah KRITIS, edisi perdana, 15 April-14 Mei 2006

28 Seperti dikutip Akhmad Ghojali Harahap, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh TI pada 2001, Indonesia diposisikan pada peringkat ke-4 sebagai negara terkorup di dunia. Bahkan yang lebih para lagi, hasil survey yang dilakukan oleh PERC, sebuah lembaga ekonomi di Singapura pada tahun yang sama menempatkan Indonesia di urutan yang lebih memalukan, yaitu pada peringkat ke-2 negera terkorup se dunia. Lihat Akhmad Ghojali Harahap, PMII : Pelopor & Penggerak Perubahan (Jakarta, Pustaka Idigo, 2003), hlm. 39

29 Mereka yang skeptis itu contohnya Harry Roesli – seniman yang sangat kritis dan kolumnis yang produktif, mengomentari KPK dengan doa mudah-mudahan tidak menjadi KPK-I, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi Insya Allah! Atau menjadi KPK-B, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi Boong Ah!. Lihat Drs. Sudono Syueb, MSi, Paradoks Politik (Surabaya, Java Pustaka Media Utama, 2005), hlm. 127

30 Hasil survey yang dilakukan oleh TI (Transparancy International) menyebutkan bahwa dari 90 negara yang disurvey untuk periode tahun 2000, Indonesia menempati urutan kelima sebagai negara yang paling korup di dunia. Sementara hasil pemeriksaan I BPK menyatakan, dari sekitar Rp. 238 triliyun realisasi anggaran sektor publik yang diperiksa, salah urus pengelolaan keuangan negara untuk periode 1999/2000 berjumlah sebesar Rp. 165 triliyun atau sekitar 70 persen. Lihat. Revrisond Baswir, DI Bawah Ancaman IMF, (Jogjakarta, KOALISIANTIUTANG [KAU]-Pustala Pelajar, 2003), hlm. 161

31 Menurut Ali Maschan Moesa, dalam konteks Islam yang merugikan sesama makhluk harus dilarang, karena bertentangan dengan tujuan utama syariat Islam (maqashid al-syari’ah), yaitu terlaksananya misi rahmatan lil alamin. Dara ayat ini menurut Maschan, terhadap tiga penafsiran, yaitu : (1) an yakun kullu fardin mashdar khair lijama’atih/setiap individu harus mampu menjadi sumber kebaikan bagi komunitasnya, (2) iqamatu al’adalah/law inforrsment, dan (3) tahqiq al-maslahah/mewujudkan kemaslahatan. Lihat. Ali Maschan Moesa “ Molimo : Dari Mesin Cuci ke Manajemen Legislasi” dalam Majalah AULA, edisi, No. 03 Tahun XXV, Maret 2003, hlm. 69

32 Lihat. KH. A. Musta’in Syafi’ie “ Ironis di Negeri ini Korupsi itu ‘Cita-Cita’” dalam A.S. Burhan dkk (editor), Kumpulan Naskah-Teks Khutbah Menolak Korupsi Membangun Kesalehan Sosial : Menolak Korupsi Membangun Kesalehan Sosial (Jakarta, P3M, tanpa tahun terbut), hlm. 40

33 Kurang lebihnya demikian ungkapan Musthofa Bisri saat menjadi narasumber dalam Seminar dengan tema Menerjemahkan Cita-Cita Sosial Keberagamaan : Upaya Mewujudkan Bangsa yang Tenteram dan Bermoral Tinggi”, di UNIJA, 20 Mei 2006

34 Ketika lembaga pendidikan dianggap sebagai lembaga yang paling bertanggung jawab, secara otomatis pesantren juga terlibat di dalamnya. Sebagai bagian dari lembaga pendidikan, pesantren juga memiliki andil besar dalam memproduk para pemimpin bangsa ini. Munculnya figur-figur koruptor kemungkinan juga ada yang pernah dibesarkan di pesantren. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren memiliki potensi disalahkan atas kenyataan pahit tentang para pemimpin bangsa ini dan pesantren tidak bisa menutup mata dengan semua itu.

35 Lihat dalam pengantar Bisri Effendi, An-Nuqayah : Gerak Transformasi Sosial di Madura (Jakarta, P3M, 1990), hlm. VIII

36 Lihat. Amin Haedari “Mengembalikan Tradisi Intelektual Pesantren” dalam Jawa Pos, Rabu 14 Juni 2006, hlm. 04s

37 Masyarakat thoyyibah, setidaknya merupakan perwujudan dari idealisme dan cita-cita al-Qur’an, seperti tertuang dalam al-A’raf : 96 : Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.

38 Lihat. JAbir AlFaruqi, “ Munas dan Konbes NU 27 – 30 Juli 2006 : Menggalang Jihad Lawan Korupsi” dalam Jawa Pos, 27 Juli 2006

39 Lihat. DR. dr. Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren : Pendidikan Alternatif Masa Depan (Jakarta, Gema Insani Press, 1997), hlm. 13

40 Ibid. hlm. 211

41 Karena saking parahnya praktek korupsi, satu-satunya ide pnyelesainanya yang sempat muncul harus dengan cara revolusi moral. Hal ini lumrah terjadi karena berharap para penegakan supremasi hukum bagaimana korupsi terberantas, rasanya tidaklah mungkin, karena hukum kita juga acapkali telah kehilangan kepercayaan sebagai lembaga original yang mampu bersikap tegas terhadap persoalan korupsi.. Menurut Mansour Fakih, istilah revolusi selama ini dipahami sebagai proses yang amat luar biasa, sangat kasar, dan merupakan suatu gerakan yang paling terpadu dari seluruh gerakan-gerakan sosial apapun. Ia dipahami sebagai ungkapan atau peringatan akhir dari suatu keinginan otonom dan emosi-emosi yang mendalam serta mencakup segenap kapasitas keorganisasian maupun ideologi protes sosial yang dikerjakan secara seksama., khususnya citra utopis atau pembebasan yang bertumpu pada simbol-simbol persamaan, kemajuan,kemerdekaan dengan asumsi sentral : bahwa revolusi akan menciptakan suatu tatanan sosial baru yang lebih baik. Lihat Mansour Fakih, Jalan-Lain : Manefesto Intelektual Organik (Jakarta, INSIST, 2002) hlm. 246

42 Pendidikan pesantren merupakan suatu sistem sosial yang kompleks. Oleh karena itu, inovasi di dalamnya mencakup hal-hal yang berhubungan dengan subsistem pendidikan pesantren, termasuk kurikulum, madrasah umum, madrasah diniyah, Perguruan Tinggi, atau komponen pendidikan yang lain. Lihat. Drs. H. Mundzier Suparta, M.A dan Drs. H. Amin Haedari, M.Pd, Manajemen Pondok Pesantren (Jakarta, Diva Pustaka, 2003), hlm. 65

43 Manusia seutuhnya secara substansial menjadi target pendidikan. manusia seutuhnya yang memiliki ciri utama bertakwa kepada Tuhan Yang Mmaha Esa. Lihat. Kata Sambutan H. Ahmad Ludjito dalam Drs. Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1998)hlm. V

44 Gerakan penyadaran memang menjadi tujuan dari pendidikan. Gerakan penyadaran ini pada awalnya digagas oleh Paulo Friere, menurutnya gerakan penyadaran (conscientizacao) sebagai usaha membebaskan manusia dari keterbelakangan, kebodohan atau kebudayaan bisu yang selalu menakutkan. Maksud dari gerakan penyadaran ini adalah agar manusia bisa mengenali realitas (lingkungan) sekaligus dirinya sendiri. Lihat. Mua’rif, Wacana Pendidikan Kritis : Menelanjangi Problematika, Meretas Masa Depan Pendidikan Kita (Jogjakarta, IRCiSOD, 2005), hlm. 80-81

45 Lihat Mohammad Suhaidi RB “ Guru dan Otonomi Pembelajaran : Meretas Pendidikan Bervisi Global”, makalah Lomba Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa STKIP-PGRI Sumenep, April 2005, hlm. 4

46 Ali Maschan Moesa bahkan menilai akar petaka krisis kemanusiaan (azmah insaniyah) saat ini karena falsafah pendidikan materialisme dan alam pikiran humanisme-antropolosentrisme, yang menafikan kehadiran agama dan spritualisme. Lihat. Tulisannya “ Agama dan Pendidikan Dalam Wacana Pencerahan”, dalam Majalah AULA,No. 10 Tahun XXIV, Oktober 2002, hlm. 64

47 Kesempatan biasanya seringkali terjadi ketika zaman peralihan. Banyak orang yang menjadikan situasi semacam ini untuk ngaji mumpung. Setidaknya asumsi ini yang dapat ditangkap dari catatan Simuh terhadap salah satu poin dalam Serat Kalatida. Secara deskriptif Simuh menulis “ …………Ranggawarsita sebagai seorang pujangga dan sastrawan istana mensinyalir bahwa dalam peralihan zaman atau masa transisi banyak orang yang ngaji mumpung. Yakni menggunakan kesempatan untuk bertindak korupsi dan kolusi menurut istilah sekarang. Lihat Simuh “Masa Transisi dalam Perspektif Agama” dalam Amin Abdullah, dkk, Mencari Islam : Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan (Yogjakarta, PT. Tiara Wacana Yogja, 2000), hlm. 84

48 Lihat. Mu’arif. Ibid. hlm. 82

49 Lihat. Ibid. 82

50 Kalimat ini dikutip dari tulisan Marzuki Wahid “Nuzulul Qur’an dan Keadilan Sosial “ dalam M. Imdadun Rahmat (et.al.), Islam Pribumi : Mendialogkan Agama Membaca Realitas (Jakarta, Penerbit Erlangga, 2003), hlm. 39. Selanjutnya Marzuki Wahid menegaskan : ayat di atas secara eksplisit menggunakan kata penguat “inna” yang berarti “sungguh-sungguh” dan memakai kata “ya’muru” untuk menegaskan apa yang diperintahkan. Dengan begitu, jelaslah bahwa berlaku adil (menegakkan keadilan), berbuat kebajikan (memperjuangkan kebajikan), melarang dan merintangi perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan, adalah hal-hal pokok yang sangat diperintahkan oleh Allah untuk dilaksanakan oleh setiap orang. Ibid. hlm. 39

51 Lihat. Prof. Dr. H. Jalaluddin , Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001),hlm.65

52 Pendapat al-attas ini penulis kutip dari tulisan Prof. DR. Wan Mohd Nor Wan Daud “Konsep Pendidikan al-Attas tentang Ta’dib : Gagasan Pendidikan Yang Tepat dan Komprehensif dalam Islam” dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, edisi, Thn 1 No. 6, Juli-September 2005, hlm. 77

53 Ibid. hlm. 77

54 Ibid. hlm. 77

55 Dikutip dari tulisan Teten Masduki “ Strategi Memerangi Korupsi” dalam AS. Burhan, dkk, Korupsi di Negeri Kaum Beragama : Ikhtiar Membangun Fiqh Anti Korupsi (Jakarta, P3M-Kemitraan Patnership, 2004) hlm. 76

56 Lihat. S. Yunanto “ EVALUASI PEMILU 2004 : Riak-Riak dalam Gelombang Demokratisasi di Indonesia”, dalam Wardi Taufiq, editor, Sindrom Kuasa : Ancaman Sistem Politik Demokrasi (Jakarta, Democratic Institute, 2005), hlm. 64

 

Biodata

ZAITURRAHIM RB, lahir di Sumenep, 7 Juni 1983. Proses pendidikannya di ditempuh di MI Miftahul Ulum dan SDN Kertagena Laok Kadur Pamekasan, MTs. Al-Ghazali Rombasan Sumenep, MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan) Annuqayah Guluk-Guluk. Saat ini masih nyantri di Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa Selatan Guluk-Guluk dan dalam tahap akhir penyelesaian studi SI jurusan PAI (Pendidikan Agama Islam) STIK Annuqayah. Selain mengabdi sebagai tenaga pengajar di beberapa lembaga pendidikan swasta, ia juga aktif menulis artikel, novel, puisi dan cerpen di sejumlah media, baik lokal, regional dan (me-mulai) nasional.

 

 

 Back To Daftar Isi

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN TINGGI DI DAERAH

Ida Ekawati

 

[Dr. Ir. Ida Ekawati, MP, lahir di Jombang, 14 April 1958. Jabatan struktural yang kini tengah ditekuninya sebagai Rektor Universitas Wiraraja Sumenep. Ia juga sebagai dosen Kopertais Wilayah VII DPK Universitas Kediri, Dosen Luar Biasa Universitas Wiraraja Sumenep dan Anggota Dewan Pendidikan Kabupaten Sumenep. Selain itu, ia juga aktif menulis di beberapa jurnal ilmiah dan melakukan penelitian.]

Pendidikan tinggi diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institute, dan universitas, baik yang diselenggarakan oleh masyarakat maupun pemerintah. Program pendidikan yang diselenggarakan dapat berupa pendidikan akademi, vokasi, dan profesi. Tujuan pendidikan tinggi tidak terlepas dari tujuan pendidikan nasional yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu pendidikan nasional harus mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Tuntutan reformasi dan era global mengharuskan adanya perubahan paradigma dalam pengelolaan perguruan tinggi, yang semula menggunakan paradigma sentralistik bergeser menjadi pendekatan paradigma desentralistik. Garis besar kebijakan pendidikan tinggi telah dituangkan dalam strategi jangka panjang pendidikan tinggi 2003 -2010 yang diarahkan pada tiga pilar utama, yaitu peningkatan daya saing bangsa, otonomi pengelolaan pendidikan tinggi, dan peningkatan kesehatan organisasi penyelenggaraan pendidikan tinggi (Imam Sutrisno, 2004). Visi 2010 pendidikan tinggi Indonesia, yaitu pada tahun 2010 nanti dapat diwujudkan sistem pendidikan tinggi, termasuk perguruan tinggi yang sehat sehingga mampu memberikan kontribusi pada daya saing bangsa (Dirjen Dikti, 2004) dan pada tahun 2025 sistem pendidikan nasional berhasrat menghasilkan insan Indonesia cerdas dan kompetitif (Satrio Sumentri Brojonegoro, 2005).

Masing-masing perguruan tinggi tentunya harus merumuskan visinya berdasarkan visi 2010 pendidikan tinggi sesuai dengan kemampuan, situasi, dan kondisi perguruan tinggi berada. Oleh karenanya diperlukan pemahaman tentang HELTS 2003 – 2010 agar visi 2010 pendidikan tinggi dapat tercapai.

 Strategi Jangka Panjang Pendidikan Tinggi 2003 – 2010 (HELTS)

Dalam dokumen strategi jangka panjang pendidikan tinggi 2003 – 2010, pengembangan perguruan tinggi bertumpu pada tiga strategi utama, yaitu peningkatan daya saing bangsa, otonomi, dan kesehatan organisasi. Berikut ini disajikan ulasan tiga strategi tersebut.

Daya Saing Bangsa

Pada saat ini pendidikan tinggi dianggap belum mampu menyumbangkan lulusan yang dapat mengisi tenaga kerja berkualitas baik pada tingkat nasional maupun internasional, sehingga dapat dikatakan lulusan perguruan tinggi belum mempunyai daya saing yang cukup tinggi. Bank Dunia dalam laporannya mencatat bahwa daya saing Indonesia di antara 30 negara yang berpenduduk 20 juta menempati urutan ke 28.

 

Tabel 1. Peringkat Daya Saing Indonesia di antara Negara-negara Berpenduduk

Di atas 20 juta

 

Paramater Nilai ( max 100) Peringkat dari 30 negara

Daya saing bangsa 13.3 28

- Indikator ekonomi makro 28 24

- Kebijakan pemerintah untuk

Meningkatkan daya saing 16.9 27

- Perilaku inovatif,tanggung jawab,

dan profitabilias perusahaan 6.1 30

- Kontribusi sains,teknologi, dan

SDM terhadap dunia usaha 9.6 30

Sumber: www.imd.ch/wcy/orderfarm

 

Nampak pada Tabel 1. di atas, bahwa dasar penilaian peringkat tersebut salah satunya terkait dengan kinerja perguruan tinggi, yaitu kontribusi sains, teknologi, dan SDM terhadap dunia kerja. Kondisi tersebut menuntut perguruan tinggi harus dapat meningkatkan daya saing lulusan dengan diawali dengan peningkatan daya saing institusi perguruan tinggi. Beberapa program Ditjen Dikti mendorong adanya peningkatan kualitas perguruan tinggi seperti program hibah kompetisi A1,A2, dan B.

Untuk dapat berperan meningkatkan daya saing bangsa, maka perguruan tinggi harus dapat mengatasi permasalahan internal seperti efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan serta permasalahan eksternal yaitu kualitas dan relevansi yang belum sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Selain itu perlu adanya pergeseran peran perguruan tinggi dari lembaga pembelajaran tradisional ke pencipta pengetahuan yang dikembangkan berdasarkan perencanaan strategis dengan mengedepankan pendekatan kompetitif. Program pendidikan yang direncanakan ditujukan untuk mendorong peserta didik mengembangkan kreativitas dan inovasi dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Otonomi

Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 51 ayat (2) menyebutkan bahwa pengelolaan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu dan evaluasi yang transparan. Otonomi perguruan tinggi menurut Undang-undang tersebut adalah kemandirian perguruan tinggi untuk mengelola sendiri lembaganya, sehingga hal inilah yang menjadi pijakan hukum bagi otonomi perguruan tinggi yang disebutkan dalam HELTS 2003 – 2010. Pemberian otonomi bagi perguruan tinggi akan mendorong institusi lebih mampu mengembangkan dan berkontribusi untuk meningkatkan daya saing bangsa.

Perguruan tinggi yang otonom, tentu akan menerapkan fokus masing-masing yang dilandasi oleh potensi, kekhasan, dan nilai institusi setempat, dengan tetap memperhatikan nilai-nilai akademik universal serta tujuan pendidikan nasional. Perguruan tinggi menerapkan dharma akademik yang akan dilaksanakan serta bidang-bidang keilmuan yang akan dikembangkan baik terkait dengan kegiatan penelitian maupun pengajaran. Dari uraian tersebut jelas bahwa otonomi perguruan tinggi ini mencakup otonomi pengelolaan dan otonomi keilmuan. Hal inilah yang perlu disadari oleh semua pihak dalam implementasi otonomi perguruan tinggi.

Terkait dengan otonomi perguruan tinggi, perguruan tinggi dan badan penyelenggara perlu merubah tata hubungan kedua lembaga. Semula tata hubungan tersebut bersifat hirarkhi (pihak penyelenggara bertindak sebagai penentu kebijakan dan pembuat peraturan) berubah menjadi hubungan koordinatif (share governance). Dalam hal ini penyelenggara/yayasan bertindak sebagai pihak yang memberdayakan, mendorong, dan memfasilitasi perguruan tinggi.

Kesehatan Organisasi

Kesehatan institusi perguruan tinggi diartikan sebagai suatu keadaan dimana organisasi berfungsi secara optimal mewujudkan visi-misi yang telah ditetapkan. Perguruan tinggi diharapkan meningkatkan kinerjanya dalam melayani stakeholders dan selalu berupaya menghasilkan lulusan yang berkualitas. Organisasi yang sehat menurut Dirjen Dikti diartikan dengan:

  1. Berkembangnya kebebasan akademik
  2. Terciptanya suasana akademik yang mendorong proses penelitian, inovasi, kreativitas dan pemunculan ide-ide bagi setiap individu;
  3. Berkembangnya sistem nilai, norma, tatatertib dan operasi standar lainnya yang memungkinkan terjadinya team building dan team spirit, sehingga memungkinkan seseorang atau kelompok untuk produktif secara maksimal;
  4. Berlakunya prinsip meritokrasi dengan baik sehingga setiap individu akan termotivasi untuk bekerja keras dan meraih keunggulan;
  5. Berkembangnya kemampuan memasarkan dan menjual produk intelektual serta produk penelitian;
  6. Berkembangnya kemampuan untuk menjalin kerjasama yang berkelanjutan dengan berbagai pihak yang relevan di dalam maupun di luar perguruan tinggi;
  7. Terlaksananya akuntabilitas keuangan dan pemanfaatan sumber daya.

Perguruan tinggi yang sehat, akan muncul kesadaran tentang penjaminan mutu. Hal ini didorong oleh kebutuhan perguruan tinggi untuk tanggap terhadap tuntutan stakeholders.

Berdasarkan hal tersebut pengembangan perguruan tinggi hendaknya dilandasi oleh perencanaan berbasis evaluasi internal dan evaluasi eksternal misalnya akreditasi.

Dalam hal tata kelola, perguruan tinggi memiliki ciri khas yaitu model pengelolaan yang berbeda dengan model pengelolaan pemerintahan, bisnis, maupun industri. Model pengelolaan yang dikembangkan di perguruan tinggi tergantung pada inisiatif dan kreativitas individu, serta merupakan sistem kolegal yang berjalan seiring dengan kebebasan akademik dan otonomi keilmuan. Kenyataannya, pada saat ini umumnya perguruan tinggi dikelola dengan model pengelolaan pemerintahan atau bisnis. Hal inilah yang harus diperbaiki oleh pengelola perguruan tinggi agar pendidikan tinggi yang dikembangkan berdasarkan nilai-nilai akademik serta dapat mewujudkan visi dan misinya.

Pengembangan Budaya Iptek

Era globalisasi dan knowledge Based Economy menuntut adanya upaya pembudayaan iptek. Penguasaan iptek sangat menentukan dalam kemampuan bersaing di bidang ekonomi, dan daya saing bangsa ditentukan oleh kemampuan bangsa dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi Perguruan tinggi sebagai pusat pengembangan iptek harus berperan dalam pembudayaan iptek baik di lingkungan perguruan tinggi maupun masyarakat agar iptek dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari hari. Para pakar mengemukakan bahwa menumbuhkan budaya iptek atau keilmuan dalam lembaga-lembaga pemerintah, swasta dan masyarakat luas sangat penting (Kompas, Rabu 19 April 2006).

Pengembangan pendidikan tinggi hendaknya sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang relevan terhadap kebutuhan sosial dan ekonomi masyarakat. Hal tersebut dapat dicapai melalui penelitian yang dapat:

Perguruan Tinggi dan Pemerintah Daerah

Kebijakan pengembangan pendidikan tinggi tidak dapat dipisahkan dengan kebutuhan pembangunan di daerah. Keterlibatan antara pendidikan tinggi dengan pemerintah daerah dapat dilihat dari dua sisi. Di satu sisi pendidikan tinggi dapat berperan menunjang upaya pemerintah daerah dalam pengembangan berbagai sektor pembangunan daerah, terutama sektor ekonomi, sosial dan budaya. Di sisi lain pemerintah daerah dapat berperan menunjang pengembangan pendidikan tinggi, khususnya program perguruan tinggi di bidang penelitian dan pengabdian masyarakat. Hal ini dapat terlaksana apabila ada kerja sama antara perguruan tinggi dengan pemerintah daerah. Konsep yang digunakan adalah konsep kerjasama berdasarkan asas kesesuaian dan saling menguntungkan.

Saat ini kerjasama kedua lembaga tersebut dirasakan belum cukup efektif bagi pembangunan daerah. Hal ini mungkin disebabkan perguruan tinggi masih memfokuskan pada peningkatan kualitas dharma pendidikan daripada pengabdian pada masyarakat. Sementara pemerintah daerah belum maksimal dalam upaya meningkatkan sinergi dengan perguruan tinggi.

Melalui kegiatan pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat, perguruan tinggi dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan tersebut dapat dititik beratkan pada kebutuhan daerah setempat. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat pemerintah daerah dapat mengalokasikan dana bagi perguruan tinggi guna melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat

Keberadaan perguruan tinggi di daerah juga dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kualitas SDM pemerintah daerah. Kerja sama yang dibangun dimanfaatkan untuk mencerdaskan masyarakat yang tentunya tidak terbatas pada peningkatan kualitas guru, tetapi juga untuk pengembangan kemampuan pegawai pemerintah daerah tersebut.

Apabila pemerintah daerah mengalokasikan anggaran untuk pengembangan pendidikan tinggi, maka berbagai program kerjasama antara pemerintah daerah dan perguruan tinggi dapat dikembangkan melalui beberapa model alokasi anggaran dan kegiatan sebagaimana berikut:

  1. Alokasi anggaran ditujukan kepada program yang diprioritaskan, misalnya program peningkatan SDM guru dan program studi lanjut staf pemerintah daerah,
  2. Alokasi anggaran diberikan kepada institusi, misalnya kerjasama penelitian dan pengabdian pada masyarakat
  3. Alokasi anggaran ditujukan langsung kepada masyarakat atau kepada para mahasiswa daerah setempat,
  4. Model lain dalam menggalang dana masyarakat maupun industri melalui peran pemerintah daerah sebagai leading sector dalam pembangunan daearah

Dengan adanya dukungan pemerintah daerah pengembangan pendidikan tinggi di daerah diharapkan dapat menunjang pengembangan relevansi dan kompetensi perguruan tinggi dengan memperhatikan prioritas kebutuhan daerah dan potensi unggulan daerah.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan pendidikan tinggi di daerah harus diarahkan pada:

  1. Upaya terwujudnya strategi jangka panjang pendidikan tinggi 2003 – 2010 (HELTS) guna ikut berperan serta dalam peningkatan daya saing bangsa;
  2. Relevansi program kegiatan perguruan tinggi bagi kebutuhan pembangunan daerah;
  3. Meningkatkan efektifitas kerjasama perguruan tinggi dengan pemerintah daerah.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Dirjen Dikti. 2004. Strategi Jangka Panjang Pendidikan Tinggi 2003 – 2010 (HELTS), Mengingkatkan peran serta masyarakat. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Jakarta.

Dirjen Dikti. 2004. Strategi Jangka Panjang Pendidikan Tinggi 2003 – 2010 (HELTS),

Mewujudkan perguruan tinggi berkualitas. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Jakarta

Imam Sutrisno. 2004. Manajemen Kelembagaan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Bahan Pelatihan Pemberdayaan Kelembagaan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat PTS se Kopertis Wilayah VII.

Kompas, 19 April 2006.

Satrio Sumantri Brojonegoro. 2005. Bahan Rapat Kerja Wilayah Pimpinan Perguruan Tinggi Swasta di Lingkungan Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Pembinaan Akademik dan Kemahasiswaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Tilar, HAR. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. PT. Rineka Cipta. Jakarta.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

www.imd.ch/wcy/orderfarm.

 

BIODATA PENULIS

Nama : Dr. Ir. Ida Ekawati, MP

Tempat/tanggal lahir : Jombang, 14 April 1958

Pekerjaan : Dosen Kopertis Wilayah VII DPK Universitas Kadiri.

Dosen Luar Biasa Universitas Wiraraja Sumenep

Jabatan structural : Rektor Universitas Wiraraja Sumenep

Jabatan fungsional : Lektor Kepala

Karya ilmiah 5 tahun terakhir:

- tiga buah hasil penelitian dipublikasikan pada Jurnal Ilmiah Terakreditas

- satu buah hasil penelitian dipublikasikan pada Jurnal Ilmiah ber ISSN

- satu buah artikel dipublikasikan dalam majalah pendidikan

- empat buah hasil penelitian dan makalah disajikan dalam seminar

Lain-lain : Anggota Dewan Pendidikan Kabupaten Sumenep.

 

 

 Back To Daftar Isi

Mencari Wajah Pendidikan Islam

Oleh. Moh. Husen Rowy

[Penulis lahir di Kangean Sumenep, 08 April 1965. Sampai kini masih aktif mengajar di MAN Sumenep bidang studi bahasa Ingris. Selain itu, ia juga aktif sebagai pengurus MUI Kabupaten Sumenep Bidang Penelitian dan Pengembangan. Aktifitas menulis artikel, puisi, dan kolom menjadi kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan di tengah kesibukannya yang padat]

Iftitah

Terminologi yang menurut penulis dapat mewakili tujuan pendidikan Islam adalah seperti yang ditawarkan oleh dua orang sarjana muslim, yaitu :

  1. Dr. Miqdad Yaljan : Pendidikan Islam adalah sebuah usaha untuk menumbuh-kembangkan dan untuk membimbing seorang muslim menjadi anak baik, memiliki kesehatan, kepercayaan, keyakinan, akhlak, keinginan, dan kreasi yang senpurna berdasarkan nilai-nilai islami (Miqdad Yaljan, 1986 : 20)
  2. Dr. Muhammad S. A. Ibrahimy : Islamic Education is asa system of education which enables a man to lead his life according to the islamic ideology, so that he may easily mould his life according to tenets of Islam (Pendidikan Islam adalah sebuah sistem pendidikan yang menyebabkan manusia dapat memimpin kehidupannya berdasarkan ideologi Islam, sehingga dia dapat dengan mudah mencetak kehidupannya berdasarkan ajaran Islam [Muhammad S.A. Ibrahimy, 1983 : 28])

Konsepsi pemikiran di atas, jika dicermati secara hati-hati, cenderung mengarah pada modifikasi rancang bangun pendidikan yang menitik beratkan pada pemberdayaan sistem (the establisment of system), penetrasi budaya (cultural penetration) dan elabolarasi keilmuan (scientific elaboration) secara benar dan utuh, bersih dari intervensi kekuatan eksternal – kekuatan di luar bangunan Islam. Perjalanan cita-cita mulia ini, sayangnya, seringkali kelihatan tertatih-tatih oleh karena – minimal – semakin parahnya penyakit ”lumpuh” yang diderita oleh mayoritas masyarakat Muslim. Penyebab utamanya adalah : pertama, masyarakat muslim terlanjur menjadi komunitas bersosok banci, effeminate shape, dan kondisi semacam ini semakin “menjadi” ketika para pemikir Muslim terlalu apologis dengan “dasi”mereka, bahkan cenderung mempertontonkan idiom sekularisasi dalam pengertian yang sangat sempit dan rigid – di hadapan massanya secara berlebihan. Kedua, sebagian orang Islam, justeru mulai berani mencurigai kehadiran dinullah, bahkan menudingnya sebagai salah satu penyebab tertinggalnya tatanan pendidikan yang dikelola oleh sebagian institusi berlabelkan Islam, di tengah-tengah pergulatan global. Ketiga, afirmasi pendidikan oleh dan atasnama lembaga tertentu, tidak bisa mengakomudasi kepentingan Islam dan umat Islam secara keseluruhan, sementara universalitas itu secara simultan mestinya menjadi simbol atasnama kebersamaan (membership) dalam proses penyelenggaraan pendidikan. Fenomena ini semakin diperjelas oleh adanya watak bawaan berupa sifat “latah” yang oleh Alvin Tovler dianggap sebagai salah satu dari sekian banyaknya penyakit psikologis yang disebut “social shock”.

Di samping itu, sensivitas masyarakat dan para pengelola pendidikan Islam, agaknya perlu dipertanyakan. Masih mungkinkah kepekaan itu bersumber dari nilai-nilai Qur’ani ? Format pertanyaan di atas, menurut Syed Nuhamad al-Naquib al-Attas, tidak boleh dipahami sebagai sesuatu yang sederhana, kecuali karena ia muncul dari pranata sosial, secara filosofis, hal ini dikhawatirkan bisa berpengaruh langsung atau tidak langsung pada kemapanan dan sublimasi konsep penataan pendidikan yang berasal dari ”langit” itu. Lebih jauh Muhammad al-Naquib al-Attas mengemukakan :

Islamic education hat its own peculiar character, which distinguisher it very clearly from other types educational theory or practicer. This distinguihsing feature is due to the ambient presence and influence of the Qur’an on Islamic education. The Qur’an is, by the consensus of the Muslim opinion, in the past and the present, the immutable source of the fundamental tenets of Islam, of its principles, ethics, and culture. It is also the perennial foundation for Islamic systems of legislation and of social economic organization. This Qur’anic way has the distinction of connecting all discliplines of the mind with the higher principles of the islamic creeds, morals, social, social and economics policy an well as with the legal practice. The system of Islamic education is based upon the notion that every discipline and branch of knowledge, which is of benefit to society and necessary for it, should be given due to attention by the Muslim community or Ummah as a whole in order to educate all or some of its members in those disclipnes (Syed Muhammad Al-Naqub Al-Attas, 1978 : 126)

Progresifitas pemikiran semacam ini harus diiringi dengan kesungguhan berbuat dan keseriusan di dalam setiap langkah. Mutual simbisiosisme harus menjadi bagian dari percepatan peradaban manusia. Sebuah tradisi yang sesungguhnya sudah lama diproyeksikan oleh the founding fathers, terutama oleh para ulama yang tekun menanam benih pendidikan di antara pondok pesantren. Kerjasama yang saling menguntungkan antara masyarakat terdidik dengan masyarakat yang dididik, merupakan modal dasar untuk mewujudkan cita-cita agung sebagaimana yang disajikan oleh Al-Attas di atas.

“Sajadah” Pendidikan Islam

Sajadah adalah simbol peradaban Muslim. Di tempat ini, segala macam kreatifitas dan aktivitas berpusat. Sebuah lambang geliat keagamaan yang amat dinamis walaupun terkesan sakral. Dari terma sakralitas itu bakal – paling tidak – diperoleh “ kalam suci” untuk memulai langkah, ibtida’ul khothwah, agar tidak terlalu banyak dijumpai sekat-sekat yang menyebabkan perjalanan seringkali terganggu. Di bawah ini, akan penulis tampilkan tiga pilar utama – dengan tidak bermaksud untuk mengenyampingkan pilar-pilar yang lain – the third primary pillar, untuk dijadikan referensi dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, sebagaimana yang diharapkan pula oleh Dr. Yusuf al-Qardhawy (Pengantar Kajian Islam, Pustaka al-Kautsar, Jakarta Timur, 1997).

Penataan Sistem

Sistem yang dimaksud adalah “ an ordered and comprehensive assemblage of facts, principles, or doctrine” ( Mario Pei, 1974 : 313). Keterkaitan dan assimilasi fungsional, antara lain meliputi :

  1. Madrasah (Sekolah)

Ada kata kunci yang dapat dijadikan sebagai rujukan dalam melakukan proses menejemen madrasah, yaitu sekolah dengan sendirinya bisa berwujud sebagai sebuah tempat yang sehat – dan menyehatkan – untuk bertempat tinggal hanya jika kebutuhan-kebutuhan siswa-siswinya terpenuhi (the school itself can become a more healthful place to live when the needs of student are known, Robert O., Ph.D., 1954 : 68). Kebutuhan dimaksud adalah tersedianya ruang gerak yang luas dan manusiawi bagi mereka sehingga mereka memiliki “probality” sepenuhnya di dalam mencari dan menemukan dirinya sendiri dengan bantuan tulus dari seorang guru.

  1. Guru

Kamus yang menurut hemat penulis terbaik untuk dipersembahkan kepada tuan penyelenggara pendidikan adalah bahwa guru merupakan sosok sentral yang sekaligus menempati posisi strategis. Oleh karenanya, di leher “beliau” harus dikalungkan empat tugas suci, yaitu :

  1. Murid

Hampir bisa dipastikan bahwa keberadaan murid – sebutan paling sederhana dari kelompok masyarakat muda dan tertentu yang sedang dan akan menimba ilmu pengetahuan di tempat tertentu pula – dalam konteks pemberdayaan umat, sama esensialnya dengan guru. Urgensi ini bisa dilihat melalui sebuah pengamatan ilmiah (diskursus) terhadap “denyut jantung” lembaga pendidikan dimana rangking pertama yang menjadi sorotan masyarakat tentang kegagalan pendidikan, selalu ditujukan pada guru dan murid secara bersama-sama pula. Untuk “menangkis” pukulan di atas, maka perlu didiskusikan kembali pemikiran Imam Al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin, juz I, hlaman 49, disebutkan bahwa masalah mendasar yang wajib dikantongi oleh seorang murid sebelum memasukkan beragam ilmu pengetahuan ke dalam otak dan hatinya adalah proses purifikasi diri dari kotoran atau akhlak yang tercela (taqdimu thoharatun an-nafsi ‘an radzaaillil akhlaqy).

  1. Kurikulum

MenurutJohn D. Mc. Neil, berikut empat fungsi yang layak dimiliki oleh kurikulum, jika pemberlakuannya ingin diterima oleh improvisor pendidikan pada umumnya.

  1. Common or general education. Fungsi umum (dari kurikulum) adalah sebuah jaringan, an net, melalui kurikulum yang dialamatkan pada murid-murid (the learners), sebagai bentuk tanggung jawab kemanusiaan dan kebangsaan, tidak bersifat spesial dan personal atau seseorang yang mengusung interes unik. Kesuksesan unik fungsi ini tentunya diukur dari/melalui kemampuan mendorong dan menanggung proses elaborasi budaya.
  2. Supplementation . Untuk melayani fungsi ini, sebuah kurikulum dapat didesain melalui rekapitulasi dan sekaligus pelayanan beragam kemampuan dasar (talents) dan minat yang dimiliki oleh masing-masing siswa(i), bahkan bisa menyeberang pada atensi khusus yang dibutuhkan dan oleh karenanya, kurikulum dimaksud, selalu bersifat personal dan individual, tidak bersifat komunal.
  3. Exploration . Lapangan (a field) ini harus dijadikan kesempatan bagi siswa(i) untuk dapat menemukan dan mengembangkan minat pribadi yang mampu menangkap (to capture) kebermaknaan eksplorasi. Jika tahapan ini dijalankan dengan baik, kurikulum akan menjadi media bagi murid-murid guna mengenal lebih dalam tentang semangat keberpihakannya terhadap entitas keilmuan.
  4. Specialization . Adapaun fungsi spesialisasi disumbangkan oleh kurikulum yang diadaptasikan dengan kondisi kekinian, the present condition, dimana disiplin keilmuan sangat diperlukan. Murid-murid diminta untuk dapat bersaing dalam dunia nyata (the real world).

Penetrasi Budaya

Budaya pendidikan, educational culture, pasca “ post modernisme” (sebuah hasil karya cerdas dari masyarakat gelombang ketiga) ternyata tidak mampu membentuk manusia yang bisa tahu dan menguasai dirinya sendiri – meminjam istilah Anom Surya Putera (dalam Majalah Gerbang, 2000 : 22) – melainkan sekedar mengusung para spesialis yang sibuk mencari keterkaitan global bagi semua gejala.

Selanjutnya dikatakan bahwa ada ahli hukum yang buta terhadap hukum, pemikir politik, dan sastrawan yang mencoba melihat berbagai kesamaan diantara realitas sosial yang beragam, dan dengan berpijak darinya, dapat menawarkan perspektif-perspektif global tentang apapun. Sayangnya, konsep, ide, dan apapun kosa kata lainnya adalah hasil ciptaan mereka sendiri yang agaknya sulit untuk dipahami, apalagi dicicipi. Andaikata bukan karena keterbatasan jarak pandang, ratifikasi budaya yang diilhami oleh sivilisasi bebas nilai, dipastikan semakin merajalela. Padahal kita tahu bahwa tidak ada kebenaran absolut dan permanen yang dapat menentukan kita ”di luar sana”, dan membuat kita bergantung terus menerus dengannya. Subordinasi yang membuahkan keyakinan akan dahsyatnya kekuatan transendental.

Melihat kerapuhan psiko-sosial seperti itu, Islam melalui ”jerahan” sistem pendidikannya, melalalui kepolosan budayanya, telah dan akan mampu menyumbang sejarah kemanusiaan bahwa pimpinan pengembaraan pendidikan ini, harus dan tetap dipegang oleh Allah sendiri. Otak atau akal pikiran, bukanlah satu-satunya pusat pengembangan eksplorasi saintifik, tetapi ”qolbun” selamanya harus menjadi wilayah sentral (suprastruktur) dan kapasitas intelektual manusia hanya merupakan jembatan (infrastruktur). Kerangka berfikir semacam ini harus didukung oleh kekompakan Qur’ani dari masing-masing sistem yang terkait, terutama sekolah, guru dan kurikulum. Nafas sama diantara ketiganya menjadi amat niscaya ketiga ”gelombang” peradaban barat nyaris menindih rumah suci yang aset pembangunanya hampir sebanding dengan nyawa umat Islam. Ukhuwwatul ’ ilmiyah bagi Said Hawwa merupakan jamu alternatif yang sangat mujarab, tanpa mengabaikan inklusifitas yang diajarkan oleh Rasulullah sebagai panutan pertama dan utama di dunia pendidikan. (baca Said Hawwa, Al-Islam, 2004).

Elaborasi Keilmuan

Titik kejenuhan yang dialami oleh guru, murid – sebagai aktor utama pendidikan-, madrasah/sekolah, dan kurikulum, tidak terlepas dari mewabahnya adagium tuntutan spritual. Kering dan gersang! Dalam konteks ini, tradisi pondok pesantren beserta ”kidung verbalnya”nya, al-‘aalimu man ‘amila bi ‘ ilmihi, sangat tepat untuk dijadikan sebagai rujukan. Yang kedua, al-‘ilmu bila ‘amalin kasy-syajari bila tsamarin, sedikitpun tidak boleh luntur dari ”sarung” para perancang dan pengelola pendidikan Islam. Guru dan anak didik tidak boleh terpisah ketika keduanya sama-sama berada di “meja makan”, ketika keduanya sama-sama menikmati lezatnya ilmu pengetahuan yang oleh Dr. Achmad Asy-Syarbashy di dalam kitabnya Yas aluunaka fiddini wal hayah disebut dengan “ ta’tsirul ‘ilmi wal ‘amaly”

Khotimah

Tulisan di atas, tentunya tidak bisa dianggap sebagai solusi yang komprehensif dan menyeluruh terhadap berbagai problematika yang tidak henti-hentinya muncul berkenaan dengan pengelolaan pendidikan Islam. Kecuali mereka membatasi diri pada “space” pendidikan formal adalah tagihan yang berlebihan jika kumpulan beberapa pemikiran di atas dipaksakan menjadi “wahyu ketiga” setelah al-Qur’an dan hadist. Allah SWT dan Rasul-Nya adalah satu-satunya sandaran vertikal dan horizontal jika kita masih punya harapan bahwa : at-tarbiyatul islamiyah taqunu laaziman fi kulli zamanin.

Semoga sumbangan pemikiran al-Attas berikut akan menambah vitalitas dan kebugaran semangat kita dalam menyongsong hari-hari yang penuh dinamika, terutama, pada saat genderang perjuangan di bidang pendidikan sudah ditabuh dimana-mana, ketika sedang berada pada posisi mapan, the long standing pattern, yaitu :

Muslim educators unanimously agree that the purpose of education is not only to cram the students mind with facts but also to prepare them for a life of purity and sincerity. This total commitment to caracter-building based on the ideal of islamic ethics is the highest goal of islamic education.  

Cita-cita agung ini seharusnya menjadi “denyut nadi” setiap muslim. Ini bukan hanya karena sekedar ingin menyesuaikan diri dengan “selera” zaman, tetapi adalah merupakan tanggung jawab pengemban amanah Allah. Dus, kelak sejarah akan menjadi saksi tentang apa yang telah, sedang, dan akan kita lakukan.

 

Daftar Pustaka

Muhammad al-Naquib Al-Attas, Syed, Aims and Objective of Islamic Education, King Abdul Aziz University, Jeddah, 1978

Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz. I. Daaru Ahyaail Kutubi Arabiyah, Indonesia, tanpa tahun terbit.

Ibrahimy, S.A., Muhammad, Mass Media Islamic Gazette, Bangladesh, 1983

Mc. Neil, D., John, Curriculum A Comprehensive Introduction, Foresman, Cairo, 1977

Oberteafter, Delbert, School Health Education, Harpen an Brothers Publisher, New York, 1954

Yaljan, Miqdad, Al-Ahdaaf At-Tarbyah Al-Islamiyah Wa Ghayatahu, Riyadl, 1986

Hawwa, Said, Al-Islam, Gema Insani, Jakarta, 2004

al-Qardhawi, Dr. Yusuf, Pengantar Kajian Islam, Pustaka al-Kautsar, Jakarta Timur, 1997

Asy-Syarbashy, Ahmad, Yas aluunaka fi ad-Dini wal Hayah, Beirut, 1980

Majalah Gerbang, Edisi Pebruari-April 2000

 

 Back To Daftar Isi

 

KOLOM

Korupsi, Pendidikan dan Hati Nurani

Oleh: Rusliy KM

Redaktur Edukasi

Sungguh prihatin! Ungkapan itulah yang meluncur dari pembicaraan para tokoh, setelah mendengar penggelapan dana BOS oleh seorang kepala sekolah di tingkat dasar, penyelewengan sejumlah dana rutin oleh petinggi sekolah di tingkat menengah, dan penyunatan sejumlah dana bantuan pendidikan oleh oknum di Dinas Pendidikan, bahkan pemotongan dana kesejahteraan guru oleh ketua yayasan di lingkungan pesantren.

Kecemasan itu lahir, karena hampir semua orang mafhum bahwa dunia pendidikan adalah dunia suci. Plato menyebutnya sebagai dunia Ilahiyah. Aktivitas yang harus dikembangkan merupakan aktivitas mulia. Bahkan dalam pandangan saya, personil pendidikan identik dengan penghuni surga. Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Bidang Dinas Pendidikan, Kasi Pendidikan, staf pendidikan, Kepala UPTD Pendidikan, staf UPTD Pendidikan, Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, Kepala Sekolah, Kepala dan Staf TU, para ketua yayasan, para guru; guru tetap, guru bantu, guru honorer, guru sukwan, guru swasta, bahkan guru-guru yang tidak pernah mendapat penghargaan; mereka para penghuni surga.

Perspektif itu didasarkan pada pemahaman teori bahwa pendidikan merupakan proses aktivitas mendidik atau proses belajar mengajar. Belajar merupakan proses melaksanakan kegiatan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak paham menjadi paham, dari tidak baik menjadi baik. Hasil dari proses ini adalah kebaikan (mohon maaf pemahaman ini pemahaman saya sebagai orang awam). Karena itu, ironis sekali jika proses perubahan tersebut justru menggiring para pelaku pendidikan tergelincir dari sirhathal mustakim, dan tercebur ke dalam kobaran api neraka. Masya Allah! Patut kiranya kita mengurai air mata, menangis dan memohon ampun kepada Allah.

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah telah meletakkan sektor pendidikan sebagai salah satu yang diotonomisasikan bersama sektor-sektor pembangunan yang berbasis kedaerahan lainnya, seperti kehutanan, pertanian, koperasi, dan pariwisata. Otonomisasi sektor pendidikan kemudian didorong pada sekolah, agar kepala sekolah dan guru memiliki tanggung jawab besar dalam peningkatan kualitas proses pembelajaran untuk meningkatkan kualitas hasil belajar. Baik dan buruknya kualitas hasil belajar siswa menjadi tanggung jawab guru dan kepala sekolah, karena pemerintah daerah (Dinas Pendidikan) hanya memfasilitasi berbagai aktivitas pendidikan, baik sarana, prasarana, ketenagaan, maupun berbagai program pembelajaran yang direncanakan sekolah.

Setelah itu, pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989. Salah satu isu penting dalam undang-undang tersebut adalah demokratisasi pendidikan yang berkeadilan. Hal tersebut merupakan implikasi dari kebijakan mendorong pengelolaan sektor pendidikan pada daerah, yang implementasinya di tingkat sekolah. Berbagai perencanaan pengembangan sekolah, baik rencana pengembangan sarana dan alat, ketenagaan, kurikulum serta berbagai program pembinaan siswa, semua diserahkan pada sekolah untuk merancangnya serta mendiskusikannya dengan mitra horisontalnya dari komite sekolah.

Tidak ada alasan dunia pendidikan kita buram. Pemerintah telah memberi kebijakan yang sangat fleksibel, dan dapat ditindaklanjuti oleh pelaksana kebijakan di sekolah. Pelaksanaan kegiatan dapat dilaksanakan secara kolaboratif dengan berbagai pihak atau para stakeholder dan user. Dengan pola kebijakan pelaksanaan kegiatan pendidikan demikian, akan mampu membangun komitmen bersama untuk meningkatkan dan mengembangkan sekolah sebagai ujung tombak pelaksana kegiatan pendidikan tersebut.

Komitmen merupakan kunci utama untuk membawa seluruh personil pendidikan ini ke pintu surga. Komitmen perencanaan, komitmen pengembangan, komitmen pendanaan, dan komitmen pelayanan serta evaluasi, harus menjadi indikator utama. Komite sekolah harus memiliki komitmen untuk memperbaiki sekolah dan memberi kontrol yang kuat pada kepala sekolah dalam penggunaan anggaran. Kepala sekolah juga memiliki komitmen yang tinggi untuk menjaga dan meningkatkan kualitas sekolah dan menghindari penyalahgunaan anggaran. Demikian pula guru dituntut memiliki komitmen yang optimal dalam memposisikan diri sebagai guru yang profesional di kelas, dan meminimalisasi penyimpangan penggunaan jam mengajar. Komitmen ini akan terwujud, jika kita memiliki keasadaran yang tinggi dan menjadikan hal tersebut sebagai warna dalam hati nurani masing-masing orang.

Karena itulah, transparansi dan akuntabilitas publik seharusnya menjadi barometer utama untuk meminimalisasi korupsi dalam berbagai bentuk, seperti akuntabilitas perencanaan, akuntabilitas pelaksanaan, dan akuntabilitas pertanggungjawaban. Disadari atau tidak, benih-benih korupsi akan lahir menjadi jentik, jika transparansi dan akuntabilitas diabaikan.

Sentralisasi kekuasaan dan kegiatan di era saat ini bukan lagi sebagai primadona. Sejak diluncurkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 sebagaimana dijelaskan di atas, maka sentralisasi program pendidikan telah mencair. Semua elemen jangan lagi memberi peluang melahirkan raja-raja kecil di daerah yang ujung-ujungnya menciptakan koruptor-koruptor pendidikan di lingkungan raja dan kroni-kroni raja di bawahnya. Untuk meminimalisasi hal itu tidaklah mudah. Upaya menciptakan sistem yang ideal tentu harus diikuti dengan profesionalisme kerja dan memiliki kecerdasan emosi yang tinggi. Bagaimana dengan diri Anda? Terserah, saya hanya ingin menyapa!

 

 

 Back To Daftar Isi

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

Oleh: Hidayat Raharja*

“Korupsi ibarat pohon yang gak bisa ditebang, hanya batangnya tertebang, namun akar-akarnya menjalar ke berbagai tempat, tapi intinya masyarakat Indonesia pengennya serba instant, kesuksesan hanya diukur dengan duit…”

Kutipan pembuka tulisan ini merupakan potongan komentar anak saya yang telah lepas SMA dua tahun lalu. Ia begitu jengkel melihat berbagai kasus korupsi tak tertangani secara hukum. Semakin banyak kasus korupsi terungkap semakin banyak kasus tersembunyi. Saya dapat memahami jika negeri ini tergolong negeri yang tingkat korupsinya tak tertandingi, hampir di semua sektor publik dirambah oleh kasus korupsi. Konon salah seorang teman penulis yang datang ke Jerman, saat memperkenalkan diri berasal dari Indonesia, si Jerman mengatakan sebagai negeri terkorup di dunia, :”Oo, negeri yang banyak koruptornya itu ya !”. Teman saya hanya bisa mengelus dada. Saking merajalelanya korupsi di negeri ini, sampai-sampai orang yang jujur tak menemukan tempat untuk menempatkan diri. Dalam birokrasi, pemalsuan tandatangan untuk menyelesaikan SPJ rampung merupakan hal yang sangat biasa, supaya anggaran cepat dicairkan.

Gagasan pendidikan antikorupsi, suatu gagasan yang cerdas tetapi sulit untuk dilakukan, saking banyaknya institusi kehidupan yang dijangkiti korupsi. Lingkungan keluarga sebagai basis pendidikan yang paling awal bagi seorang anak digugat kembali keberadaannya untuk menjadi naungan dan tumbuh kembangnya anak baik secara moral, psikis maupun agamis. Betapa tak terduga ketika kasus korupsi masuk ke dalam rumah tangga kita, ketika ibu tidak jujur terhadap suaminya, ketika suami membohongi istrinya. Maka tanpa disadari mereka telah memberikan pembelajaran perilaku bagi anak-anaknya.

Kehidupan masyarakat, merupakan sebuah institusi yang tak dapat diabaikan untuk bisa membentuk komponen masyarakat yang anti korupsi. Namun masyarakat di negeri ini kehilangan sosok untuk dijadikan anutan, kehilangan contoh untuk ditiru, kehilangan sikap untuk bisa mengarifi. Betapa sosialnya koruptor di negeri ini, ketika uang hasil korupsi sebagian kecil disumbangkan ke panti sosial, membangun rumah ibadah dan sebagian besar lainnya disimpan dalam rekening bank atas nama orang lain.

Sementara dunia persekolahan yang diharapkan sebagai lembaga yang dapat memberkan perubahan perilaku bagi anak didik, hanya menjadi institusi yang membekali anak dengan seperangkat pengetahuan untuk bersaing dan berebut lapangan kerja. Pendidikan akhlak menjadi bagian terpisah dari proses pembelajaran yang diselenggarakan. Dan diam-diam tanpa disadari, dalam lembaga persekolahan ini para guru merekayasa supaya nilai anak didiknya memenuhi nilai standar kelulusan. Membantu memberikan kunci jawaban,tanpa rasa malu atau bersalah memberikan kunci jawaban ujian ke dalam kelas dan mengubah atau menambah nilai supaya mendapatkan nilai yang bagus sesuai dengan tuntutan pasar atau lapangan kerja.

Pendidikan anti korupsi enak diucapkan pahit dilakukan, karena pendidikan membutuhkan idealisme dan aksi nyata untuk dapat menuju yang dicita-citakan. Dibutuhkan kesungguhan untuk menanamkan dan menumbuhkan sikap antikorupsi bagi anak-anak kita. Kesungguhan dalam kehidupan memberikan pembelajaran kejujuran, kearifan, nilai-nilai tersebut mulai pudar.Kesungguhan nuntuk menghukum bagi para pelaku tindak korupsi dengan hukuman yang berat sehingga menjadi contoh bagi mereka yang akan melakukannya.

Ketika orangtua tidak jujur dalam rumahtangga, jangan harap anak-anaknya bisa berbuat jujur terhadap dirinya. Ketika masyarakat tidak lagi memumbuhkan ketauladanan yang baik, jangan diharapkan anak-anakmudanya memiliki perilaku seperti yang diharapkan.

Saya malu kepada mereka yang tidak sekolah, yang membaca semesta kehidupan dengan ketulusan dan kearifan.Mereka yang banyak berbuat tanpa banyak bersilat kata. Saya malu kepada mereka yang memeras keringatnya untuk membangun kehidupan yang lebih beradap.

Dunia pendidikan kita kehilangan idealisme tidak lagi memiliki rasa malu untuk melalukan manipulasi terhadap nilai anak-anak didiknya. Saya malu ketika dunia pendidikan tidak mampu lagi membuka pintu kearifan untuk mengganjar anak sesuai dengan kelakukan dan prestasinya.

Institusi kehidupan kita telah kehilangan rasa malu, lahan subur berbiaknya korupsi. Aku takut karena rasa malu ini merupakan antitoksin terhadap penyakit korupsi. Pendidikan anti korupsi harus dimulai dari segala sektor kehidupan (rumah tangga, masyarakat, dan sekolah) untuk kembali menumbuhkan rasa malu untuk melakukan tindakan menyimpang dan mengambil hak-hak orang lain yang bukan bagiannya. Pendidikan untuk memiliki rassa malo , karena rassa malo membuat orang enggan untuk melakukan sesuatu yang menyimpang dan bukan haknya. Sementara para koruptor itu adalah golongan orang-orang yang ta’ tao malo

Penulis adalah guru SMA 1 Sumenep, penyair

 

 

 Back To Daftar Isi

Pendidikan kita Sakit Apa?

Oleh: Waqi’ Saningrum

Pendidikan adalah salah satu pilar kehidupan bangsa. Masa depan suatu bangsa bisa diketahui melalui sejauh mana komitmen masyarakat, bangsa atau pun negara dalam menyelenggarakan Pendidikan Nasional. Dalam Pembukaan (Preambule) Undang-Undang Dasar 45 menyatakan"… Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia, yang melindungi segenap bangsa, seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…" Pendidikan menjadi salah satu dari tujuan bangsa ini.

Sementara dalam Undang-Undang Dasar 45 pasal 31 ayat 4 memperjelas bahwa anggaran penyelenggaraan Pendidikan Nasional minimal sebesar 20 % diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Secara ideal, penyelenggaraan Pendidikan Nasional seperti dilukiskan dalam konstitusi di atas. Namun dalam realitasnya justru mengatakan lain. Pendidikan Nasional semakin menyimpan banyak persoalan dan sampai sekarang belum terselesaikan. Banyak kasus pendidikan yang sempat menjadi keprihatinan kita bersama, seperti; tragedi pendidikan di kabupeten Kampar (Riau), kasus penggusuran SLTP 56 Melawai (Jakarta) dan kasus penggusuran SDN Ambarukmo (Yogyakarta) bebarapa tahun yang silam.

Kasus-kasus tersebut secara tidak langsung menjadi indikasi bagi keberlangsungan Pendidikan Nasional yang masih terseok-seok. Proses penyelenggaraan Pendidikan Nasional masih sering terbentur dengan berbagai kendala, baik dari segi kebijakan (policy), sistem sosial dan kesadaran kita sendiri.

Tiga kasus di atas adalah yang sempat terdeteksi oleh media massa. Masih terbuka kemungkinan besar kasus-kasus serupa yang tidak terdeteksi oleh media massa. Oleh karena itu, sudah sewajarnya kita sebagai bangsa Indonesia yang konsisten dengan Pendidikan Nasional menyikapi berbagai kasus yang ada secara bijaksana.

Jika menganalisa lebih jauh tentang kasus di kabupaten Kampar tersebut, kita membutuhkan suatu paradigma yang bisa membedah dan memberikan penjelasan secara berarti dari kasus di atas. Secara tidak langsung, Pendapatan Asli Daerah (PAD) cukup berlebih jika hanya untuk menyelenggarakan pendidikan yang bermutu. Namun karena komitmen pemerintah yang kurang memperhatikan persoalan ini, sehingga proses pendidikan di kabupaten Kampar sangat terbengkalai.

Membaca kondisi batin masyarakat Kampar pasca tregedi tersebut mengindikasikan adanya "budaya bisu" (submerged of culture silent). Sebuah realitas budaya massa yang mencerminkan ketakutan atau ketidakmampuan masyarakat untuk meluapkan aspirasi mereka. "Budaya Bisu" sebagaimana Paulo Freire menyebutnya, adalah suatu indikasi dari proses penindasan yang sifatnya tidak manusiawi (de-humanisasi), karena memang tidak senafas dengan fitrah manusia (Mansour Faqih, Roem Topatimasang, Toto Rahardjo, 2000).

Melalui analisis di atas kita bisa mengambil kesimpulan secara sederhana bahwa terdapat beberapa pokok persoalan dalam pendidikan kita, yaitu; pertama, problem kebijakan pemerintah yang tidak memiliki komitmen dalam menyelenggarakan Pendidikan Nasional. Uraian di atas menjadi argumentasi logis untuk mengatakan bahwa pemerintah tidak memiliki komitmen yang jelas dalam menyelenggarakan Pendidikan Nasional.

Sementara itu, ketika kita merujuk pada undang-undang dasar 45 pasal 31 ayat 1 yang menyatakan bahwa anggaran penyelengaraan Pendidikan Nasional sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun dalam kenyataannya tidak menunjukkan suatu relevansi yang nyata. Bahkan riil, anggaran pendidikan hanya berkisar 10% dari APBN, dan itu pun hanya untuk membiayai anggaran rutin seperti penyediaan alat-alat belajar, gaji guru dan karyawan dan sebagainya.

Kedua; Problem visi Pendidikan Nasional yang masih belum bisa berpihak pada rakyat jelata (grass root). Dari kasus-kasus di atas, keluar sebagai pelaku pemenangnya adalah kalangan the have atau mereka yang memiliki uang saja. Kebijakan pemerintah dan visi Pendidikan Nasional kurang bisa menyentuh kepentingan kalangan grass root. Oleh karena itulah, setiap kasus yang terjadi selalu meletakkan posisi rakyat jelata sebagai yang kalah.

Ketiga; Problem kesadaran masyarakat Indonesia yang belum mencapai tahapan "kesadaran kritis" (critical consciousness). Setiap kasus yang terjadi selalu memposisikan masyarakat bawah sebagai yang tertindas, namun mereka tidak kuasa melawan penindasan itu. Dalam istilahnya Paulo Freire, mereka telah tenggelam dalam "budaya bisu." Kondisi mereka selalu tertekan, namun tidak kuasa untuk meluapkan seluruh aspirasi karena otoritas kekuasaan pemerintah yang sangat dominan.

Ketiga akar persoalan di atas menjadi problem serius dalam penyelenggaraan pendidikan bermutu di Indonesia. Penyelenggaraan Pendidikan Nasional tidak akan bisa berjalan secara ideal selagi ketiga pokok persoalan di atas belum terpikirkan.

 

 

 Back To Daftar Isi

 

RESENSI

Menjadi Guru yang Benar-Benar Guru

Judul Buku :

Perkembangan Peserta Didik

untuk Memiliki Kompetensi Pedagogik

Penulis : Musaheri

Tahun Terbit : 1 Juni 2006

Penerbit : Pustaka Pelajar

Tebal : 204 halaman

Peresensi : Rusmanhadi

Dalam konteks relasi antara guru dengan murid, kita seringkali mendengar istilah klasik yang mengisyaratkan tentang kedekatan hubungan antara kedua elemen pendidikan dan pembelajaran tersebut. Yaitu istilah : apabila guru kencing berdiri, maka murid akan kencing berlari.

Istilah ini sudah jamak menjadi keyakinan setiap orang. Bahwa guru merupakan kiblat bagi peserta didik, apapun yang dilakukan oleh guru akan diikuti oleh peserta didik. Apapun yang diajarkan oleh guru, akan dikonsumsi dan menjadi bahan bagi peserta didik. Demikian pula halnya, apapun yang disampaikan guru serta metode apapun yang dipakai guru dalam proses pembelajaran akan sangat berpengaruh terhadap kondisi anak didik.

Hal ini, menunjukkan posisi guru dalam proses pembelajaran merupakan posisi yang sangat besar pengaruhnya terhadap setiap perkembangan, karakter dan masa depan peserta didik yang tidak bisa dilepaskan. Maka, berhasil tidaknya sebuah proses pembelajaran yang dilakukan, secara substansial tidak bisa dilepaskan dari kiprah dan peran strategis para guru. Pinter dan tidaknya peserta didik, tercapai dan tidaknya target pembelajaran yang digagas, sangat ditentukan oleh guru dalam mengelola proses-proses pembelajaran.

Istilah adanya relasi yang sangat erat antara guru-murid di atas menyimpan makna mendalam bahwa seorang guru memiliki peran yang sangat substansial dalam melaksanakan pembelajaran, karena guru merupakan kekuatan signifikan dalam proses pembelajaran, maka upaya mengarahkan, mengajar dan mendidik menjadi bagian dari tugas seorang guru yang pada gilirannya akan memberikan pengaruh yang sangat terasa terhadap anak didik. Guru, dengan demikian merupakan kekuatan yang sangat besar andil dan pengaruhnya dalam perkembangan dan kemajuan anak didik. Dengan idealisme tersebut, guru tidak hanya memiliki tugas sebatas mengajar, tetapi harus memiliki jangkauan paradigmatik yang harus dipahami, agar capaian pembelajaran dapat tercapai secara maksimal.

Disinilah, metode dan kesadaran mengajar seorang guru menjadi kekuatan yang sangat luar biasa. Memimpikan kualitas anak didik yang besar, tidak bisa hanya dilakukan dengan cara-cara yang konvensional, tanpa adanya metodologi pembelajaran dan perangkat-perangkat pembelajaran yang harus dimiliki oleh seorang guru, sehingga anak didik tidak hanya akan terlahir dengan kualitas yang hampa prestasi dan bobot, tetapi malah sebaliknya guru harus memiliki paradigma lain bagaimana melahirkan anak-anak didik yang benar-benar memiliki bobot prestius yang dapat dipertanggung jawabkan.

Dan, impian itu akan tercapai apabila pola pengajaran dan pembelajaran yang dilakukan oleh guru didasarkan pada kesadaran utuh sebagai seorang guru, skil mengajar yang jelas dan kemampuan-kemampuan mendidik yang sesuai dengan potensi guru itu sendiri. Sebab, melakukan pengajaran dan pembelajaran untuk melahirkan out put yang benar-benar sesuai dengan harapan harus dilakukan dengan cara-cara membenahi paradigma mengajar seorang guru.

Dalam buku ini, Musaheri, salah seorang guru dan berprofesi sebagai dosen di STKIP-PGRI Sumenep mencoba mengurai secara utuh tentang pola mengajar guru dan bagaimana seorang guru seharusnya ketika menghadapi peserta didik. Dalam buku ini juga, Musaheri tidak hanya memaparkan tentang bagaimana proses mengajar dan pembelajaran dilakukan, yang sangat menarik adalah dengan bahasa yang enak dicerna Musaheri mencoba memberikan gambaran praktis tentang sikap dan cara guru dalam melaksanakan upaya pembelajaran berdasarkan konsepsi pedagogik. Sehingga, mengajar tidak hanya sekedar mengajar, tetapi bagaimana ada orientasi yang jelas terhadap pembelajaran yang dilakukan. Peserta didik tetap menjadi fokus pembelajaran seorang guru yang secara aktif dapat diteropong. Keberadaan peserta didik mutlak untuk dikenal guru. Keberagaman atas keunikan dan keunikan atas keberagaman peserta didik dari segenap dimensi yang melingkupinya harus diketahui oleh guru. Tidak tahu pada karakteristik peserta didik merupakan petaka kegagalan guru dalam melakukan pembelajaran (hlm. V).

Kenyataan itu, tentunya akan menjadi sesuatu yang akan menggelapkan orientasi dan arah dari proses pembelajaran. Karena pembelajaran yang dilakukan pada hakikatnya tidak lepas dari semangat untuk memberikan yang terbaik bagi peserta didik. Spirit bagaimana pembelajaran menjadi sarana pendewasaan tidak akan tercapai, karena guru telah menyalahi prinsip-prinsip yang seharusnya dimiliki oleh seorang guru. Salah satunya, guru harus bertindak sebagai guru yang sebenarnya dan memandang peserta didik sebagai individu yang bisa berkembang, dan guru harus bisa membaca kenyataan itu secara kritis dan obyektif.

Guru tidak hanya menjadi penyambung lidah infomasi bagi peserta didik yang monoton, tetapi guru harus mampu menjadi guru yang secara utuh dapat memahami kondisi dan situasi riil yang dihadapi oleh peserta didik untuk mencapai kedewasaannya. Sebab, peserta didik memiliki peran vital untuk mencapai kedewasaan melalui proses pembelajaran (hlm. X). Peran tersebut, dalam ketidakdewasaan peserta didik, seringkali kurang dipahami dengan baik, sehingga kegiatan pembelajaran sebagai bagian dari usaha pendewasaannya, dirasa memberatkan, membosankan dan membebani peserta didik (hlm. X).

Akibatnya, peserta didik selalu menjadi korban yang tidak terelakkan. Rendahnya motivasi belajar, prestasi belajar, yang terus menurun, perkembangan intelektual dan emosional peserta didik yang tak kunjung meningkat, bahkan tidak sedikit yang memilih keluar dari sekolah, merupakan akibat dari peserta didik yang tidak menyadari pentingnya proses pembelajaran yang bermakna (hlm. X).

Tugas besar seorang guru adalah memahami persoalan itu secara aktif, guna membangun proses pembelajaran yang memang benar-benar mampu melibatkan peserta didik secara maksimal. Oleh karena itu, guru dituntut memiliki kemampuan pengelolaan ruang pembelajaran dengan baik dan teknik-teknik pembelajaran yang jitu, karena menghadapi peserta didik sama halnya dengan menghadapi perbedaan yang benar-benar berbeda. Setiap peserta didik menyimpan perbedaan yang tidak sama dengan invidu peserta didik yang lain, dan kenyataan itu harus bisa ditangkap oleh seorang guru. Karena, peserta didik merupakan subjek yang unik. Masing-masing peserta didik memiliki kekhasan tersendiri, memiliki kebutuhan, harapan dan kemampuan beragam, berbeda satu dengan yang lain. Kedewasaannya dicapai secara bertahap, dan setiap individu peserta didik juga tidak sama cara dalam mewujudkan kedewasaannya (hlm. 1).

Keberagaman yang unik pesera didik, jelas merupakan persoalan riil yang tidak bisa dibiarkan begitu saja oleh seorang guru. Perbedaan yang terjadi pada mereka membutuhkan pengelolaan yang kreatif dari seorang guru, sehingga proses pembelajaran akan dapat berlangsung sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Guru dituntut untuk memberikan pembelajaran yang bermakna. Yaitu, pembelajaran yang berorientasi pada kepentingan peserta didik yang dilandasi oleh nilai budaya, sosial dan spritual dalam rangka memelihara dan meningkatkan martabat peserta didik sebagai manusia yang memikul tanggung jawab untuk masa depan (hlm. 2).

Alhasil , membaca buku ini sama halnya kita belajar memahami dan belajar menjadi guru yang siap melaksanakan proses pembelajaran secara utuh ; bagaimana seharusnya seorang guru melaksanakan pembelajarannya dengan baik sesuai dengan kebutuhan dan problem mendasar yang notabene dihadapi oleh peserta didik. Buku ini, sangat layak dibaca oleh mereka yang memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai guru.

Dan yang terpenting dalam buku ini adalah spirit mengajar yang benar-benar memiliki orientasi ke depan, yakni bagaimana anak didik benar-benar dianggap sebagai sesuatu yang unik, sehingga dibutuhkan pemahaman yang maksimal oleh seorang guru dalam melakukan proses pembelajaran. Kesadaran akan keunikan yang dimiliki peserta didik, dalam buku ini dianggap sebagai sesuatu yang signifikan untuk dimiliki oleh seorang guru, guna menghasilkan pola pembelajaran yang benar-benar bermakna bagi peserta didik. Membaca buku ini, sama halnya kita diajari tentang bagaimana mengajar dan mendidik serta menjadi guru yang sebenarnya untuk melahirkan out put pendidikan yang bisa diharapkan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan era kekinian.

 

* Peresensi adalah Aktivis LPM STKIP-PGRI Sumenep dan Fungsionaris IPNU Cabang Sumenep

 

 

 Back To Daftar Isi